Babad Alas Mentaok Bagian Tiga

Babad Alas Mentaok
Bagian Tiga
(Danang Sutawijaya VS Arya Penangsang)
Oleh Betty Irwanti

Lelaki kekar, berperawakan tinggi, dan besar sedang duduk bersila di pinggiran sungai. Matanya terpejam, mukanya hitam legam, tak ia pedulikan sama sekali terik matahari yang memanaskan bumi. Keringat mengucur deras membasahi tubuhnya.

Rupanya, lelaki itu sedang merenungi kesalahan demi kesalahan yang baru saja ia buat hari ini. Ah, tidak. Andai ia bisa memahami apa yang diisyaratkan gurunya, ia tak harus bersusah payah begini. Andai ia mengerti arti kedipan mata gurunya, musuhnya pasti sudah mati.

Berulang kali ia mengutuk dirinya sendiri, mengapa akal sehatnya tertutup oleh emosi dan napsu angkara. Pelan ia memejamkan mata, mencoba untuk bisa khusyuk merenungi semua. Ia kemudian merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada, mendengarkan gemericik air yang mungkin saja bisa membawanya pada ketenangan dalam jiwa.

Kelebatan kejadian tadi malam silih berganti membayang di pelupuk matanya.

"Guru! Mengapa guru meleraiku dengan Jaka Tingkir tadi? Semestinya guru mendukung usahaku untuk membunuhnya!"

Setelah Jaka Tingkir dan Ki Ageng Pemanahan berpamitan malam ini, Arya Penangsang menagih janji gurunya,

"Nakmas Arya. Aku tetap mendukungmu. Tapi, hari ini kamu melakukan kesalahan besar!" Sunan Kudus menyapa muridnya dengan nada datar, namun penuh kekecewaan.

Yang diajak bicara masih diam. Mencoba mencerna apa maksud perkataan gurunya. Ia masih berasumsi bahwa kejadian malam ini adalah kesalahan gurunya.

Sunan Kudus kembali melanjutkan perkataannya, "Aku mendukungmu sepenuhnya untuk merebut kembali tahta yang memang berhak kamu dapatkan. Tapi malam ini kamu membuatku menjadi sangat kecewa!"

Arya Penangsang menghentikan langkahnya, "Apa salah saya, Guru!"

"Salahmu banyak. Kamu mengutus abdimu untuk membunuhnya dan kamu gagal. Justru Jaka Tingkir mempermalukanmu dengan meminjam senjatamu sementara. Kenapa bukan kamu sendiri yang menyelinap ke kamarnya?"

Arya Penangsang diam, menunduk. Keringat mulai bermunculan dari wajahnya.

"Aku mengundang musuhmu, tapi dia datang berdua dengan penasehatnya. Apa ini salahku?"

Arya Penangsang masih diam, menundukkan pandnagannya.

"Aku sudah berupaya memberikan kesempatan padamu tadi, tapi kamu tak memahami arti ucapanku. Kusuruh kau mewrangkakan kerismu, bukan ke wrangkanya tapi ke tubuh Mas Karebet itu!"

Arya Penangsang menutup mukanya, mukanya merah padam. Dia mulai memahami kesalahannya sendiri.

"Kesalahan yang paling fatal adalah kamu sudah menduduki kursi yang sudah kuberi rajah kesialan. Seharusnya kursi itu diduduki oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya, tapi kenapa kau sendiri justru mendudukinya!"

Arya Penangsang lemas dan tersungkur menangisi kelalaiannya. Kakinya lemas seketika, ia bersimpuh di kaki Sunan Kudus. Gurunya tak bergeming sama sekali, masih melanjutkan apa yang ingin disampaikannya.

"Aku sama sekali tidak bisa memahami jalan pikiranmu. Kupikir kamu sudah berubah menjadi lebih baik!"

Dia harus bersiap menebus segala kelalaian yang tak disadarinya.

"Tidak usah mengkhawatirkan Kadipaten Jipang Panolan ini! Aku akan menjaganya dengan baik selama Nakmas menjalani masa tirakat. Tebuslah kesalahanmu agar kesialan tak menyertaimu!"

Lelaki kekar, berperawakan tinggi, dan besar itu mohon diri. Menuju tempat yang ditunjukkan oleh gurunya, Sunan Kudus. Tempat di mana ia kini bersemedi, pinggiran padepokan yang berbatasan langsung dengan perkampungan warga Kadipaten Jipang Panolan.

Arya Penangsang membuka matanya. Tak dia pedulikan badannya yang bersimbah peluh. Dihembuskannya napas pelan. Ia ceburkan dirinya ke dalam air sungai yang diharapkan bisa mendinginkan hatinya yang terbakar.

Ditutupnya rapat-rapat mulutnya, agar puasa yang dijalaninya tidak menjadi batal. Separuh hari ini baru saja berlalu. Padahal masih ada 40 hari lagi yang harus di lewati.

Ini seperti yang dititahkan oleh Sunan Kudus padanya, "Nakmas Arya, tirakatmu sampai 40 hari. Kamu harus puasa makan dan minum, memberi makan orang yang kelaparan, tidak boleh dekat dengan wanita, dan tidak boleh marah."

*

Waktu merangkak naik mendekati malam, tapi perang mulut dan perang dingin antara kedua murid Sunan Kudus belum juga berakhir. Jengah dengan semua pemandangan, Ki Ageng Pemanahan memberikan isyarat kepada Jaka Tingkir untuk undur diri.

Kanjeng Sultan Hadiwijaya membaca pesan penasehatnya dengan baik. Ia dan Ki Ageng Pemanahan pun pamit, Arya Penangsang dan Sunan Kudus mengantar sampai ke depan pintu gerbang padepokan.

Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan menunggang kuda mereka. Secepat kilat mereka hilang dari pandangan tuan rumah yang telah menyambut mereka dengan beragam cara. Rupanya dewi fortuna masih menaungi pemimpin Kesultanan Pajang ini.

Pemimpin yang semakin membuat Arya Penangsang geram dan semakin menyimpan dendam padanya karena ia telah memidahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan mengganti nama kerajaan menjadi Kasultanan Pajang. Demak dijadikan sebuah kadipaten dan dipimpin oleh Adipati Arya Pangiri.

Arya Penangsang sendiri diberi kedudukan sebagai Adipati di Jipang Panolan. Inilah upaya pemimpin ini untuk meredam dendam dan gerakan balasan dari murid Sunan Kudus itu. Tapi, usaha ini belum juga berhasil.

Kewajiban-kewajiban yang mestinya dilakukan oleh seorang abdi kepada pimpinan tak dilaksanakannya. Ia sama sekali tak memenuhi kewajiban membayar pajak dan tak menemui sekalipun sang pemimpin di singgahsananya.

Ara Penangsang sangat berharap dialah yang duduk di singgasana itu, bukan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

"Memangnya dia pikir dia yang paling hebat. Di padepokan ini saja aku yang lebih dahulu merguru pada Sunan Kudus."

Kelebatan pikir itu melintas, membuyarkan lamun yang sedang dilakukannya sambil menyelam. Dia bangun dari muara sungai ke pinggiran. Kembali ke ritual perenungan.

Bersamaan dengan itu, ia mendengar suara berbisik, dia beranjak secepat kilat, mencari sumber suara. Disibakkan semak belukar hingga tak bersisa, tetap saja tak ditemukannya.

"Siapa itu?" dia berlari ke arah kiri. Mengejar bayangan yang baru saja dilihatnya.

"Siapa di sana!! Jangan lari!!"

Ia arahkan pandangan ke sekitarnya, sepi. Tak ada lagi suara berbisik dan kelebatan bayangan.

Ia heran. Siapa yang sedang mengawasinya.

"Apakah Sunan Kudus mengirimkan telik sandi untuk mengawasiku?"

Ia memutuskan kembali ke tempat semula.

"Atau jangan-jangan itu tadi anak buah Jaka Tingkir? Apakah benar ia adalah dalang semua ini?"

Arya Penangsang semakin menebak dan menerka, siapa sesungguhnya orang yang baru saja dikejarnya. Gerakan yang sangat gesit. Larinya bisa lebih cepat dari macan yang mengejar mangsa.

"Atau tadi hanya hewan buas yang kelaparan dan mengincar tubuhku?"

"Akan kucincang habis tubuhnya jika saja kutemukan tadi!"

Ara Penangsang menahan napasnya yang memburu. Jika saja tidak dalam masa tirakat, sudah akan dikejarnya suara berbisik tadi sampai ketemu.

"Tahanlah amarah, jika kamu ingin terbebas dari kesialan yang mungkin akan terjadi padamu, Nakmas Arya!"

Entah darimana datangnya suara itu, tapi jelas itu suara Sunan Kudus.

"Sendiko dawuh, Guru. Muridmu yang tak berguna ini akan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik!"

**

Bersambung...

#1006kata
#HistoricalFiction
#BabadAlasMentaok
#DanangSutawijaya
#AryaPenangsang
#SultanHadiwijaya
#Sunankudus
#KiAgengPemanahan
#KelasFiksiODOP6

#OneDayOnePost
#EstrilookCommunity
#November2018
#Day28

@Clever Class, Cilacap, 27 November 2018: 11.04.
Ibu Jesi.
Nyi Bejo Pribumiluhur.

Sumber gambar: ceritaanaknusantara.com

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

16 komentar untuk "Babad Alas Mentaok Bagian Tiga"

  1. Jadi makin khusyuk nih nungguin lanjutan kisahnya....

    BalasHapus
  2. Mbak Betty keren, bisa menulis historical fiction senyata ini. Sudah sampai bagian tiga pula. Daebak!

    BalasHapus
  3. Wuaaaah...aku blom baca yang sebelomnya...tapi iih keren pisan iniii...

    BalasHapus
  4. Wuaaaah...aku blom baca yang sebelomnya...tapi iih keren pisan iniii...

    BalasHapus
  5. Wah serasa berada di tanah jawa ratusan tahun yang lalu. Kerennn mbakk.

    BalasHapus
  6. Wah hrs buka episode sebelumnya. Spy nyambung

    BalasHapus
  7. Harus buka episode sebelumnya nih mb, kereen

    BalasHapus
  8. Wah, Keren nulis historical story. Ini based on true story, ya?

    BalasHapus
  9. Ini fiksi ya, kayak nonfiksi.
    Good job, ditunggu serial lanjutannya

    BalasHapus
  10. Waaaa bikin penasaran lanjutannyaaa

    BalasHapus
  11. Wah Mba Bety bisa nulis fiksi juga😊

    BalasHapus
  12. Kereeen Mbak ... 😘😘

    Udah bagian 3 kah?

    BalasHapus