Kapan Kita Mudik?



Ramadhan Writing Challenge
#RCO
#Day22
#OneDayOnePost
#Pergiataupulangkekampunghalaman

Mudik adalah salah satu kata-kata sakral yang bergema si akhir bulan Ramadhan. Pergerakan massa dari kota ke kota, dari kota ke desa, dari mancanegara ke dalam negara atau ke segala penjuru dunia secara bersamaan dalam kurun waktu seminggu sampai dua mingguan, biasanya akan disiarkan di televisi dalam jangka sepuluh harian.

Mudik yang terjadi di Indonesia ini sangat unik. Apalagi kalau bukan segala aktivitas yang menyertainya. Masyarakat berbondong-bondong ingin berhari raya di kampung halaman oleh karena itu mereka semua mewajibkan diri untuk pulang menemui keluarga yang sudah setahun terakhir ini dirindukan. Atau bahkan ada yang lebih lama lagi tidak pulang. Rindu mereka melebihi istri Bang Toyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran tidak juga pulang, mudik lebaran.

Mudik tahun ini sedikit sepi secara mata saya memandang. Bagaimana tidak, televisi dikuasai sepenuhnya oleh Bebi Jesi yang setiap hari menyetel kaset VCD dengan lagu anak-anak atau kartun kesayangan. Belum lagi jika Kakak Fatih ikut merajuk akhirnya kan harus mengalah. Masa iya harus rebutan.

Rebutan gadget iya, sebab Ibu Jesi sibuk dengan VCT-nya. Gadget saya jadi favorit Bebi Jesi. Setiap saya pulang kerja yang dicari pasti gadget ayahnya. Dia tidak meminta gadget milik ibunya. Sebab jadul, tanpa banyak bisa berselancar game dan aplikasi yang lainnya. Makanya dia meminjam hp Kakak Fatih yang baru dibeli kemarin dengan uang tabungannya.

Saya sibuk dengan kerja. Belum libur juga sampai H-2. Ada jadwal piket yang menyertainya. Pasti lalu lintas jalan raya sudah padat merayap, mirip nyanyian si Komo lewat.

Mudik tahun ini sama sekali tidak saya rasakan. Sama seperti tahun-tahun yang sudah berlalu. Saya hanya bisa tinggal di rumah, duduk manis menunggu adik dan adik ipar yang mudik dari luar kota dan ibukota Jakarta sana.

"Bu, lebaran besok bakal sepi kayaknya di rumah eyang," tanyaku pada suatu kesempatan.
"Emang saudara tidak pada mudik?"
"Menurut info sih tidak."
"O, ya iya bakal sepi mungkin. Ya disibukin silaturrahmi aja. Biar gak berasa sepi."
"Di rumah sini sepi juga gak ya?"
"Kayaknya si rame, seperti biasa. Om Rudi juga bakal mudik sama Tante Ayu."
"Oh, kapan?"
"Katanya Om sudah otw dari Jakarta tanggal 30 Mei. Mampir Kebumen dulu pastinya."
"Wah, Jesi bakal seneng bisa jalan-jalan naik mobil dong."
"Iya, si Merah sudah sering ia tanyakan."

Kemarin sore saat saya sedang menyuapi Bebi Jesi, tiba-tiba istri masuk dengan terburu-buru.

"Ayah, ada anaknya pakde Wangon di rumah eyang."
"Siapa? Mbak Uci?"
"Iya, sama suami dan Gendhis. Jarot nggak ikut."
"Ya nanti lah, ini baru aja mau makan. Dari pagi kan Jesi nggak mau makan."
"Ya udah, aku mandi dulu aja ya. Terus ke sana. Nanti Ayah nyusul sama Jesi ya..."

Ibu Jesi bergegas mandi kemudian salat Asar dan meluncur ke rumah eyang yang jaraknya hanya 200 meter kurang lebih. Lima menit naik sepeda motor pasti sudah sampai. Jalan kaki sepuluh menit juga sudah bisa sampai. Di sanalah rumahku. Rumah bercat warna campuran hijau dan biru. Rumah mewah yang semribit full angin cemilir alias ac karena letaknya mepet sawah.

Saya sendiri tinggal di Rumah Clever sejak menikah dengan Ibu Jesi tahun 2013 lalu. Bahkan sampai ada Bebi Jesi saya dan istri tak berpikir sama sekali untuk pindah rumah maupun pindah domisili. Entah nanti atau suatu saat. Niat untuk terus bersama keluarga sambil menjaga dan merawat kedua orang tua sungguh itu benar-benar sebuah niat yang harus diiringi dengan perjuangan setiap harinya.

Sudah sejak remaja saya selalu merantau ke luar kota bahkan ke luar negara. Rupanya istri tak berkenan lagi jika berada jauh dari suaminya. Itulah syarat yang diajukannya sebelum menikah dulu. Bahwa ia tak ingin suaminya berada jauh dari keluarga, terutama orang tua.

"Orang tuaku sudah tua Mas. Begitu juga orang tuamu. Apakah kau tidak pernah berpikir ingin menjaga mereka meski tidak satu rumah nantinya. Rumahku dan rumahmu masih satu desa, kita bisa sering-sering menyapa atau hanya untuk sekedar bertahap muka."

Saya diam dalam waktu lama sampai akhirnya menerima permintaan istri dengan lapang dada. Itu masa-masa sebelum menikah dulu. Antara tahun 2006-2013. Saat saya dan Ibu Jesi masih terpisah jarak antara Bali Cilacap dan antara Indonesia Malaysia. Dia ingin meretas jarak dan waktu, tak ingin ada lagi keduanya diantara hubungan pernikahan kelak.

Saya dan Ibu Jesi tidak saling mengenal pada awalnya namun sebab suatu acara temu alumni di sekolah dasar kami akhirnya terlibat dalam satu comblangan yang dilakukan oleh Mbak Inaya. Sungguh karena dia dan Dia akhirnya kami bisa menikah pada akhirnya.

Entah jika dulu kami tidak mengalami cinta lokasi, mungkin tahun ini saya akan mudik. Seperti Om Rudi yang dapat jodoh orang luar kota. Atau mudik seperti kebanyakan tetangga yang merantau ke ibukota.

Pernah suatu kali istri bercerita tentang saat lebaran tahun 2010 yang tidak akan pernah bisa ia lupakan tragedinya.

"Jadi, waktu itu aku dan rombongan PGRI ada acara nengok rekan yang sakit di RSUD Banyumas. Nah, pas berangkat tidak ada kejadian apapun.  Waktu pulang itu kejadian aneh terjadi aku kesasar sampai ke Lumbir. 12 kilometer dari perempatan Wangon,"

"What? Kok bisa?"

"Entahlah, aku sendiri tidak paham kenapa itu bisa terjadi. Yang jelas aku empang melihat begitu banyak mobil dan kendaraan lalu lalang, pas mudik waktu itu. Yang jelas aku tidak melihat ada belokan kiri yang seharusnya aku menuju ke arah itu. Aku lurus. Sampai tersadar, lho kok alas ra mandeg-mandeg? Kalau hutan yang arah Wangon itu kan sedikit terus sudah sampai pertigaan Jeruklegi."

"Kok tahu itu nyasar ?"

"Aku kan berdua bareng Mbak Ning. Nah, kami berdua seperti orang keselong yang tak tentu arah. Kemudian tersadar di tengah hutan hampir sampai daerah Karangpucung. Kami pun putar balik. Bertanya pada tukang parkir kalau tidak salah. Lalu memberitahu kalau kami kesasar. Lalu aku dan Mbak Ning kembali ke arah Wangon dan menjadi orang terakhir yang sampai rumah."

Pas istri cerita itu saya sampai bengong melompong, tak bisa menolong dan berbuat apapun. Lah wong saya sendiri posisi masih di Negara Bagian Sabah, dia di Cilacap. Kami terpisah jarak. Dan tidak ada wacana mudik tahun itu. Bahkan untuk tahun-tahun berikutnya.

Saya baru pulang mudik menjelang lebaran tahun 2013 lalu menikahinya. Jadi, pertanyaan setiap tahun masih sama: Kapan kita mudik?

🌸

@RumahClever, Cilacap, 3 Juni 2019: 15.17.
Betty Irwanti Joko
Ibu Jesi
Nyi Bejo Pribumiluhur

#1017kata






Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

Posting Komentar untuk "Kapan Kita Mudik?"