Apakah Lingkungan yang Ramah Akan Membuat Anak Cerdas dan Memiliki Mental Sehat?



Masih selamat malam, masih salam semangat. Masih semangat menulis. Masih semangat menyelesaikan tugas. Masih dalam upaya menyelesaikan konsekuensi yang harus dijalani oleh seorang ibu bekerja yang juga seorang ibu rumah tangga. 

Meski banyak tugas dan deadline tapi tetap berusaha menyelesaikan dengan ramah. Lho, kok ramah? Iya, ramah. Ramah pada diri sendiri, supaya hati dan pikiran bisa sinkron. So, tugas segera bisa diselesaikan tanpa harus mengejar mood yang kadang bisa saja pergi. 

Ramah pada suami, si kecil dan keluarga, jelas perlu. Sebab apa jadinya jika aku egois memilih menulis dan tidak ramah pada mereka. Pasang muka serius? Ah, rasanya tidak tega. Mereka tetap prioritas utama.

Masih dengan opening yang sama, aku ingin menjelaskan sedikit tentang lingkungan ramah yang akan membuat anak cerdas dan bermental sehat.

Sri Rumani pernah menulis di laman web kompasiana.com, tentang Anak-anak sebagai generasi milenial menghadapi tantangan yang lebih berat, dibanding generasi sebelumnya. Ruang gerak untuk bermain semakin terbatas seiring dengan berkurangnya fasilitas publik yang ramah anak. Khususnya di kota-kota besar, ruang publik terbuka telah disulap menjadi perumahan, mall, hutan beton yang menjulang tinggi. 

Sekolah pun berdiri diantara gang sempit, gedung tinggi, tanpa halaman sekolah untuk berolah raga, yang sering dikorbankan untuk lahan bisnis. Kondisi lingkungan yang sudah tidak mempunyai daya dukung dapat berakibat pada perkembangan secara fisik, psikologis anak. Apalagi ditambah "banjir"nya informasi yang menyesatkan (hoax), dan tidak sehat dari dunia maya.  

Anak sebagai generasi penerus bangsa, perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Keluarga sebagai pemberi lingkungan yang pertama dan utama, sebelum anak keluar dalam lingkungan yang lebih besar yaitu sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu orang tua (ibu dan ayah) menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk membentuk fondasi yang kokoh dalam pemahaman masalah keagaamaan, etika pergaulan, sopan santun, kejujuran, kepekaan sosial, solidaritas. Bibit radikalisme dapat dicegah dimulai dari keluarga. 

Masalahnya masih ada orang tua yang mengabaikan hal-hal kecil ini, akibatnya ketika anak dalam lingkungan sosial terkecil (keluarga) tidak mendapatkan informasi yang benar dari orang tua, anak mencari pemahaman dari orang lain yang justru "menyesatkan".  

Lingkungan yang baik adalah hak asasi anak yang semestinya dapat dinikmati oleh anak-anak agar dapat tumbuh kembang secara sehat fisik dan psikisnya. Anak-anak yang terbiasa dengan lingkungan keluarga yang baik (mempunyai rasa tenggang rasa, saling menyayangi, menghormati, toleransi), akan terbawa dalam pergaulan ketika di sekolah dan masyarakat. Sebaliknya lingkungan keluarga yang biasa tidak jujur, egois, kasar dalam bertindak, keras ketika bersuara dapat berpengaruh pada sikap dan perilaku anak-anaknya. 

Dalam bahasa Jawa ada peribahasa:"Kacang ora ninggal lanjaran (Kacang tidak meninggalkan lanjaran/alat penopang dan tempat menjalarkan tanaman menjalar). Artinya perilaku anak itu menurun dari orang tuanya. Akhlak anak tidak jauh beda dengan akhlak orang tuanya, maka berhati-hatilah orang tua dalam bertindak dan bersikap, karena semua itu masuk dalam memorinya dan akan ditiru oleh anak.

Memberikan lingkungan yang baik untuk anak bukan hanya lingkungan fisik, tetapi juga lingkungan psikis dan sosialnya. Kenapa ada tawuran antar sekolah, gang, kelompok "klitih" yang meresahkan masyarakat karena membacok orang tanpa sebab di jalan raya pada dini hari. Dimana orang tuanya, dan mengapa ketika "ayam" peliharaan tidak pulang ke rumah saat hari sudah senja (menjelang Magrib),  dicari ke tetangga, di kebun belakang rumah, di pepohonan. Namun aneh, ketika anaknya tidak pulang sampai menjelang dini hari tidak pernah dicari, di telepon, di WA, dibiarkan, diabaikan, pergi kemana dengan siapa untuk acara apa.

Ini masalah komunikasi antara orang tua dengan anak-anaknya. Herannya lagi, orang tua piawi memberi nasehat, petuah, membimbing, mendidik anak orang lain, justru anaknya sendiri dilupakan dan diabaikan. Padahal menjadi orang tua itu tidak dapat di"wakilkan" kepada orang lain siapapun dia (guru kelas/guru agama, kakek nenek, saudara).  

Munculnya anak-anak bermasalah karena jiwanya kosong, tidak mendapatkan teladan dari lingkungannya yang positif. Anak-anak merasa "kesepian" disaat membutuhkan pengarahan, bimbingan tetapi orang tua sibuk bekerja di luar rumah dengan alasan "demi memenuhi kebutuhan anak". 

Bahwa asupan gizi seimbang bagi anak sangat penting agar tidak menjadi generasi "stunting", yang berpengaruh dengan tumbuh kembang secara fisik. Selain itu yang tidak kalah penting adalah asupan gizi rohani, sehingga jiwanya pun dapat tumbuh kembang untuk menjadi generasi yang kuat, berkarakter, berbudi pekerti, berkepribadian mulia.

Hak anak untuk mendapatkan lingkungan yang ramah anak itu diberikan sejak dari dalam kandungan, sampai anak berusia 18 tahun (sebutan anak menurut UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak). Masalahnya tidak semua orang tua memahami kewajibannya sebagai orang tua yang merupakan hak anak-anaknya. 

Aku sendiri di laman blog ini pada postingan hari Senin, tanggal 9 Desember lalu, telah menulis tentang lingkungan yang ramah anak adalah lingkungan yang memungkinkan si kecil nyaman dalam menghadapi proses tumbuh kembang secada optimal. Lingkungan yang nyaman adalah lingkungan yang selalu mendukung anak, seperti apapun dan dalam keadaan bagaimanapun. 

Lingkungan yang nyaman adalah lingkungan yang tidak pernah ada bully-ing sedikitpun, tidak pernah ada sikap membandingkan anak satu dengan anak yang lain. Karena setiap anak tentu diciptakan berbeda, bahkan untuk kembar identik sekalipun. 

Aku dan suami sendiri berusaha untuk bisa memaksimalkan peran menjadi orangtua yang ramah agar puteri kecil tak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Karena lingkungan yang penuh akan kasih sayang akan membuat ia nyaman dan aman.


Apa yang kami lakukan agar lingkungan ramah anak itu tercipta?


  • Stop bullying

Tidak membully anak ketika dia melakukan aktivitas yang menurut kita itu aneh, lucu atau pantas untuk ditertawakan. Stop membandingkan anak dengan anak lain. Pahamilah Yahnda Bunda, si kecil juga punya hati dan pikiran yang bisa saja merekam setiap kejadian. Bisa jadi ia akan terus mengingat sepanjang hidupnya sebagai kejadian negatif yang akan berdampak negatif suatu saat.

Apakah kita menginginkan hal yang demikian? Kalau aku jelas tidak menginginkanya. Aku berusaha untuk ramah dan tersenyum setiap saat, apapun yang si kecil lakukan. Meski itu bukanlah hal yang mudah, tapi teladan dari Ayah Jose-lah sumber segala keramahan itu menjadi membahana kemudian.

So, bagaimana dengan Yahnda Bunda sendiri? Sudahkah memberikan sikap ramah pada si kecil hari ini?

Sila jawab sendiri ya, aku mau selonjoran dulu sejenak. Hehehe....
Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

1 komentar untuk "Apakah Lingkungan yang Ramah Akan Membuat Anak Cerdas dan Memiliki Mental Sehat? "