Percayalah,
hidup itu ujian. Bagi seorang perempuan yang sudah menikah, ujian selanjutnya
mungkin saja ketika harus kembali bersabar menanti kehadiran buah hati.
Percayalah, aku, Ibu Jesi harus menunggu 33 bulan sampai akhirnya dinyatakan
hamil Kakak Jesi. Apa yang aku lakukan selama 33 bulan sebelum akhirnya
dinyatakan hamil?
Anak yang cerdas berasal dari orangtua yang cerdas. Anak yang cerdas berawal dari pernikahan dan kehamilan yang cerdas pula. Kehamilan yang direncanakan adalah salah satu poin dalam mewujudkan kehamilan yang cerdas. Apakah kehamilan yang cerdas itu perlu?
Apakah Yahnda Bunda ingin merencanakan kehamilan cerdas? Ikuti kisah dari Ibu Jesi berikut.
Sebenarnya
kisah ini ada di buku pinky, buku antologi tembus mayor pertama di Tinta Medina
(Imprint Tiga Serangkai) yang kutulis bersama komunitas eL Hidaca. Buku
berjudul Ya Allah Izinkan Kami Memiliki Buah Hati.
Berikut
kutipan tulisanku dalam buku pinkyku, (Ini draft awal seawal-awalnya yang
kutulis via aplikasi Colornote di gawaiku yang lama). Kutipan cerita ini sekarang
sudah ada di buku Ya Allah Izinkan Kami Memiliki Buah Hati yang tentu saja
sudah melalui proses edit kemudian.
(Tulisan saat aku hamil 9 bulan dan masih sangat baru sekali dalam memasuki dunia menulis. Mohon tidak ditertawakan ya, disenyumin saja boleh deh. Heheh)
(Tulisan saat aku hamil 9 bulan dan masih sangat baru sekali dalam memasuki dunia menulis. Mohon tidak ditertawakan ya, disenyumin saja boleh deh. Heheh)
Buku Pinky, berjudul Ya
Allah Izinkan Kami Memiliki Buah Hati bisa didapatkan di Toko Buku dan Gramedia
seluruh Indonesia.
Ini
cerita saya. Cerita tentang betapa saya membutuhkan waktu yang tidak sebentar
untuk menantikan kehadiran buah hati. Sekitar tiga puluh tiga bulan
hitungannya. Ya, itu sangatlah benar.
Cerita
dimulai sejak saya dan suami menikah, tanggal 20 Agustus 2013. Proses menuju
pernikahan kami pun sangatlah berliku, butuh waktu bertahun-tahun sampai di
saat yang membahagiakan kala itu. Saya dan suami sejak kecil hidup bertetangga.
Kakek suami adalah imam masjid di tempat saya biasa mengaji. Tetapi, kami mulai
menjalani masa perkenalan secara pribadi di tahun 2006 dengan singkat saat ada
kegiatan alumni SD. Mulai awal tahun 2007 kami menjalani masa pendalaman yang
unik. Saya di rumah dan suami di tempat kerja yang selalu jauh. Hanya setahun
sekali bertemu saat Lebaran. Bahkan, tiga tahun sebelum menikah suami merantau
ke luar negeri. Bertemu kemudian, langsung menikah.
Seperti
layaknya pengantin baru lainnya, kami menikmati bulan madu dengan riang
gembira. Apalagi kami saling mencintai, tak pernah terlupakan masa indah saat
itu. Meski malam pertama harus ditunda pelaksanannya karena saya sedang
menstruasi. Beruntung, suami saya orang yang sangat pengertian. Dia sabar
menunggu, sampai tertunaikannya kewajiban itu.
Banyak
yang bilang, kalau malam pertama pas datang bulan itu. Biasanya langsung
tokcer, maknyuss langsung jadi deh. Katanya begitu. Tapi bagi kami menjadi lain
lagi ceritanya. Kami butuh waktu untuk mendapatkannya. Satu bulan berlalu setelah
malam pertama, datanglah menstruasi berikutnya yang kami hadapi dengan biasa.
Ya, mungkin tidak langsung seketika juga kami mendapatkan buah hati seperti
orang lain yang kebanyakan langsung tokcer. Menstruasi di bulan pertama setelah
menikah dirasa biasa. Belum ada pikiran apapun yang terlintas. Belum ada
kegalauan yang menyerang, masih wajar-wajar saja. Dua bulan kemudian datang
juga menstruasinya, kami tetap tenang. Sampai di bulan ke tujuh saya mulai
resah dengan pertanyaan banyak orang. Bertemu orang di jalan ditanya, kapan
punya anak?. Bertemu orang di pasar ditanya, kok belum juga hamil?. Bertemu
saudara yang sedang bertamu ke rumah pun ditanya, kamu menunda kehamilan ya?.
Bertemu dengan orang dimanapun, sering ditanya hal-hal yang mengarah ke pertanyaan
kapan punya anak. Saya hanya bisa tersenyum dengan menjawab "Masih harus
bersabar, belum dipercaya". Saat menghadapi kejadian seperti itu sikapku
ya biasa saja. Tapi menjelang tidur malam, rasanya kegundahan bertambah. Saat
memandang suami pun perasaan jadi tambah galau sampai kadang air mata menjadi
menetes. Ya Allah, kenapa saya belum juga hamil? Kadang juga saya bertanya
sendiri dalam hati. Apa kekurangan saya, apa salah saya ya Allah hingga Engkau
menghadirkan ujian semacam ini. Saya ingin seperti yang lain, mudah mendapatkan
keturunan. Apakah dosa dan salah saya di masa lalu terlalu banyak? Ya Allah
maafkan segala dosa saya. Maafkan segala dosa suami saya. Apa kekurangan dia.
Apapun itu ya Allah, saya berusaha ikhlas.
Yang
paling membuat sedih kadang ada yang tidak langsung bertanya kepada saya, tapi
mengajukan pertanyaan ke orang lain ketika saya ada di tempat yang sama dan
saya mendengarnya. "Eh, tahu tidak kenapa dia sudah lama ya belum hamil
juga. Padahal suaminya di rumah terus, tidak bekerja. Kerjaannya hanya mengasuk
anaknya tetangga itu.". Ya Robbi, saat ini memang suamiku tidak bekerja.
Tapi bukan berarti selamanya begitu. Memang saya yang mensyaratkan untuk tidak
lagi merantau di tempat yang jauh. Boleh bekerja tetapi kerja disini, di tempat
yang bisa selalu dekat dengan istri dan keluarga. Sudah sejak muda suami saya
terus bekerja di tempat yang jauh, merantau ke luar negeri. Rasanya sudah
cukup. Sudah saatnya hidup dekat dengan orang-orang terkasih. Apalah artinya
menikah jika setelah ijab qobul, istri disini suami di Malaysia. Meski akibat
dari tidak kembalinya suamiku ke tempat kerjanya, dia harus kehilangan banyak
materi yang dijaminkan sebelum pulang. Uang sekali gaji. Jaminan beberapa juta
rupiah yang akan dikembalikan perusahaan jika sudah sampai kembali. Semua sudah
dia ikhlaskan, semata-mata demi menikah dengan saya.
Dua
bulan setelah menikah mungkin suami mulai merasa bosan dengan hanya tinggal di
rumah, tidak bekerja. Apalagi dia sudah biasa bekerja sebelumnya. Saya
merasakan gelagat dia sedang ingin berangkat kerja lagi. Tapi saya masih diam
saja, bingung harus bereaksi seperti apa atas keinginannya ini. Saya ingin
suami tetap di rumah dengan harapan menstruasi segera terhenti. Kalau dia jauh,
bagaimana selanjutnya. Kapan akan ada waktu untuk bertemu. Waktu itu ada
saudara yang mengajaknya ke Jakarta. Di tengah kebingunganku suami tetap
berangkat, saya pun mengantarnya ke terminal. Sehari dua hari seminggu rasanya
terlalu berat, dan saya menyerah. Saya sakit. Bapak saya menelpon suami supaya
segera pulang sebab beliau tahu kalau saya tidak mengizinkan spenuhnya suami
bekerja jauh. Dan benar saja, beberapa hari setelah suami pulang. Saya sembuh.
Suami saya seperti dokter sekaligus obat sakit yang saya rasakan. Alhamdulillah
ya Allah. Terima kasih.
Di
bulan November 2013 ada saudara yang pulang dari merantau jauh, dia tante saya
adiknya bapak. Saya dan suami menjemputnya di Bandara Adisucipto Yogyakarta
sekalian bulan madu, niatnya. Sebab sejak menikah belum merasakan seperti apa
rasanya bulan madu. Masa cuti saya hanya seminggu dari sebelum hari pernikahan
sampai setelahnya. Jadi, kami benar-benar memanfaatkan waktu ke Yogyakarta ini
dengan baik. Kami menginap di rumah saudara, adik bungsunya bapak di daerah
Sleman. Rumahnya terletak di daerah pegunungan yang dirasa begitu asing, karena
ini memang pertama kali kami berkunjung. Benar-benar mendukung sekali
suasananya untuk berbulan madu. Kami pun menikmatinya meski hanya beberapa hari
saja. Sesampainya di rumah, tante melepaskan kerinduannya kepada seluruh
keluarga. Melihat foto-foto pernikahan kami sebab saat kami menikah, dia tidak
bisa hadir. Kami pun bertukar cerita. Pada suatu waktu, saya dan tante sampai
di topik tentang belum adanya tanda-tanda kehamilan.
Pesan dari tante saya,
"Ya, sabar mba. Pasti punya momongan kalau sudah diberi kepercayaan sama
Allah. Tenang saja."
Saya: "Apa periksa ke dokter ya te?"
Tante:
"Ya boleh periksa ke dokter, tapi kalau sudah periksa seperti apapun
kondisimu kondisi suamimu ya disyukuri saja. Jangan berubah hanya karena satu
sama lain punya kekurangan. Turuti saja apa kata dokter. Dokter pasti akan
bantu."
Mendengar
nasehat dari tante rasanya ada sedikit kelegaan tentang belum adanya
tanda-tanda kehamilan. Tapi, memunculkan rencana baru untuk segera periksa ke
dokter. Baiklah, saya akan mencoba cerita kepada suami. Tapi belum saat ini,
ada tante di rumah. Biarkan kami menikmati kebersamaan tanpa memikirkan apapun.
Satu
bulan setelah obrolan dengan tante, dia berangkat lagi ke luar negeri. Sebab
kepulangannya kali ini memang sebatas cuti untuk beberapa waktu. Bukan saya dan
suami yang mengantarnya, tapi bapak, mamah dan Mungkas. Anak momongan saya.
Mungkas adalah anak tetangga yang masih satu kampung dengan saya. Dia diasuh
keluarga saya sejak berumur dua bulan. Sehingga banyak yang mengira kalau
Mungkas ialah anak saya. Ya, memang benar. Dia adalah anak momongan saya yang
sangat saya sayangi, sangat keluarga kami sayangi. Bahkan suami saya yang baru
mengenalnya beberapa bulan, sudah mengaggap Mungkas sebagai anak sendiri.
Kehadirannya membawa keberkahan sendiri bagi kami. Seperti sudah digariskan
oleh Allah untuk mengisi hari-hari saya dan suami yang masih belum mempunyai
anak kandung sendiri.
Hari-hari
saya bersama suami memang tidak kekurangan apapun. Pagi hari, saya berangkat
kerja. Suami membantu mengasuh Mungkas yang baru berumur tiga tahun. Saya juga
sangat menikmati kebersamaan dengannya. Tapi, tetap saja. Saat menjelang tidur
malam semua terasa sepi. Pada suatu malam saya mencoba membuka pembicaraan
dengan suami di kamar kami.
"
Yang, sudah akan setengah tahun. Bintang belum ada juga. Rumah masih sepi.
Gimana ini ya?"
(
Kami memang saling menyapa dengan sebutan "Yang" atau panjangnya sih
"Sayang" biar ada ciri khas. Lebih mesra dan lebih dekat kata suami
sih. Hmmm. Tadinya, apa ayah ibu. Tapi dirasa belum pas. Abi umi, rasanya tidak
pede. Ya sudahlah, yang saja cukup.)
Suami
menjawab: " Ya, belum diberi sama Allah. Sabar saja. Baru setengah tahun.
Yang lebih lama dari kita banyak.".
Jawabannya
sangat melegakan hati. Katanya lagi "Ya sabar saja sayang. Tuhan pasti
akan memberi kepercayaan pada kita di waktu yang tepat". Rasanya klasik ya
kata-kata itu, tapi cukuplah ampuh mendinginkan gundah yang saya rasakan.
Saya:
"Yang, gimana ya kalau kita periksa ke dokter yuk. Biar tahu kondisi kita
sebenarnya bagainana?"
Suami:
" Ya boleh, tapi dana gimana? Periksa kan juga butuh biaya."
Saya:
"Ya nanti pelan-pelan kita ngumpulin dulu ya yang."
Setelah
pembicaraan itu, mulai terpikirkan untuk mencarikan suami pekerjaan. Mungkin
sudah saatnya dia mencari nafkah di tempat yang dekat. Ada ide untuk
memasukkannya menjadi tenaga perpustakaan ke beberapa sekolah, kebetulan
kenalan saya ada beberapa yang belum memiliki tenaga pustakawan. Kami kunjungi
satu persatu dengan pengajuan diri bahwa suami siap menempuh kuliah demi
memperoleh pengetahuan tentang perpustakaan sebab sebelumnya belum pernah sama
sekali mengenalnya. Saya juga mengajarkan pengetahuan tentang komputer,
bagaimana caranya mengetik, ini itu dan kawan-kawan. Jadilah kami sibuk kesana
kemari mencari lowongan. Kami dapatkan dua tempat yang bisa dijadikan harapan.
Kami terus melakukan pendekatan. Sampai di suatu siang saat ada kegiatan Try
Out Ujian sekolah. Ada pembicaraan yang tanpa disengaja tapi membawa berkah
sampai sekarang.
Saya
mengawasi pelaksanaan Try Out Ujian Kelas Enam waktu itu. Duduk bersama dengan
teman satu sekolah du bangku pengawas. Teman itu bernama Ipin. Ipin mengajak
ngobrol ini itu supaya tidak terlalu mengantuk. Banyak topik yang dibicarakan.
Keluarga, kuliah, asmara dan masih banyak lagi. Ipin cerita kalau dia punya
teman kuliah, namanya Arif. Guru di salah satu sekolah islam di Cilacap.
Menurut info dari Arif, di sekolahan itu sedang butuh satpam. Ipin ingin
mendaftarkan kakaknya, tapi ternyata kakakknya tidak tamat SMA. Memang katanya
harus tamatan SMA. Terjadilah pembicaraan selanjutnya dengan Ipin:
Ipin:
"Ada lowongan satpam bu, di Cilacap. Aku mau ndaftarin mas ku. Malah
sekolahnya tidak sampai SMA. Ya tidak jadi."
Saya:
" Memangnya kakakmu cuma tamatan SMP?"
Ipin:
"Iya."
(Tiba-tiba
saya teringat sesuatu)
Saya:
" Mas, suami saya tamatan SMA lho. STM sih tepatnya. Dulu di SMKN2
Cilacap. Berarti bisa ya kalau ndaftar saja."
Ipin:
"Ya bisa bu. Ndaftar saja coba."
Saya:
"Punya nomor telp Arif tidak mas. Coba tanya syarat ndaftarnya
bagaimana?"
Ipin
pun sms ke arif, tanya syaratnya. Beberapa waktu kemudian, di balas. Lalu saya
catat. Saya juga minta nomor telp Arif biar lebih mudah mencari informasinya.
Sejurus kemudian saya sudah smsan dengan Arif. Tentu saja dengan tahap
perkenalan di awalnya, supaya tidak bingung. Oke.
Rasanya
jadi tidak sabar menunggu waktu untuk pulang dan memberitahu suami untuk
menyiapkan berkas-berkas. Segera setelah sudah saatnya oulang saya bergegas.
Saya beritahukan informasi itu, suami pun antusias. Kami menyiapkan berkas
pelamaran kerja segera. Sebab besok pagi akan di titipkan ke Ipin. Dia ada
jadwal kuliah dan akan bertemu dengan Arif. Arif nanti yang akan memasukkan
lamaran suami ke sekolahannya yang sedang membutuhkan satpam. Malam hari pun
jadi berkas sudah jadi, siap dimasukkan lewat Ipin terus ke Arif. Saya pun
menelpon Arif memastikan hal tersebut, dan Arif menjawab. Iya. Baiklah. Saya
dan suami berharap besar bisa lolos surat lamarannya. Beberapa hari kemudian
ada telp dari sekolahannya Arif. Memberitahu kalau suami harus datang ke
sekolahannya untuk tes tertulis tentang satpam pada hari yang sudah ditetapkan.
Suami pun meminta saya untuk mencarikan bahan belajar karena dunia satpam itu
begitu asing baginya. Saya pun mencarikan di google dan materinya saya cetak.
Dua hari suami belajar, memahami materi kesatpaman. Saat harus berangkat tes
tertulis suami saya berangkat pagi-pagi sekali. Saya pun menunggu hari itu
dengan penuh kegundahan. Sore haru suami baru pulang. Ternyata, hari itu dia
tidak hanya tes tertulis. Tetapi ada tes tertulis tentang pengetahuan agama,
tes tilawatil Al Qur'an, tes tertulis tentang Al Qur'an juga. Sangat padat
acaranya. Dua hari lagi harus datang untuk tes wawancara. Dan memang
alhamdulillah segala proses untuk masuk kerja itu dimudahkan. Memang rezeki
suami saya bagus, saya akui. Satu hari setelah wawancara suami mendapat telp
lagi bahwa harus mulai kerja dua hari kemudian. Jadi, itu artinya suami sudah
punya pekerjaan sekarang. Meski awalnya mendaftar di lowongan satpam tetapi
oleh pemimpin sekolahnya suami ditawari pekerjaan yang lain. Suami pun menerima
dengan senang hati. Syukur pada Allah atas semua ini, rasa di hati saya sulit
untuk digambarkan waktu itu. Suami sudah diterima kerja tapi harus bangun
sangat pagi dan menempuh perjalanan jauh.
Jalan
untuk mendapatkan dana periksa ke dokter mulai terbuka. Suami sudah bekerja,
meski jauh tidak menjadi masalah. Yang penting tidak di luar negeri, pikirku.
Sehari dua hari di jalani, sebulan dua bulan berlalu suami mulai merasakan
kelelahan. Timbulah ide untuk mencari kontrakan rumah bersama dua temannya. Ada
jadwal pulang yang diatur agar rencana memiliki anak bisa tetap lancar
terlaksana. Beberapa kali saya pun sering berkunjung ke rumah kontrakan suami
jika ada kegiatan di kota. Jadilah sebagai tempat transit jika ingin menginap.
Tepat
di genapnya satu tahun pernikahan lewat dua hari, saya dan suami sudah merasa
siap cukup dana untuk memeriksakan diri ke dokter. Kami pun berangkat ke salah
satu rumah sakit islam di kota. Kami mendapat informasi dari anaknya dukun
beranak yang sedang memijat saya untuk program memiliki anak. Saya pergi ke
dukun beranak itu diberitahu oleh kakak ipar, kakak suami bahwa dia pijat ke
dukun itu kemudian manjur. Jadi dia menyarankan ke saya untuk mencoba pijat.
Saya pun menurut. Suatu saat setelah dipijat, anaknya dukun beranak itu memberi
informasi tentang dokter kandungan di kota. Dia beri caranya dan nomor telpnya.
Kebetulan dia juga agak lama menunggu hadirnya momongan tapi setelah periksa ke
dokter itu, langsung jadi. Waktu itu dia sedang hamil lima bulan. Baiklah. Itu
asal ceritanya kenapa saya dan suami kemudian periksa juga ke dokter yang sama
dengan anaknya dukun itu. Saat periksa, saya diberi obat penyubur dengan harga
tebusan yang lumayan. Saya belum tahu kalau periksa di rumah sakit itu bisa
memakai jaminan kesehatan yang saya punya. Jadi masih jaminan umum. Periksa
pertama ini membuat menstruasi saya di bulan berikutnya agak sedikit mundur
jadwal menstruasi yang biasanya, dan ini jadi pengharapan lebih bagi kami.
Tapi, Tuhan masih belum membuatnya menjadi indah bagi kami. Gugur juga apa yang
kami tunggu, meski keyakinan itu belumlah genap. Yang saya rasakan berbeda dari
menstruasi yang biasanya, sebelum mens keluar saya merasakan nyeri hebat di
seluruh badan. Badan pegal dari ujung kaki sampai ujung rambut. Rasa yang lebih
hebat saya rasakan saat menstruasi keluar, rasanya sakit dan wujud yang
dikeluarkan itu mirip pita-pita cacing yang menggembung. Merah segar. Ini
membuat saya drop secara lahir dan batin. Saya sempat putus asa, beruntung ada
suami yang mendampingi meski saat menstruasi keluar dia tidak ada di rumah.
Jadwalnya sedang di rumah kontrakan. Untung ada bapak ada mamah yang berhasil
menenangkanku. Mereka meyakinkan bahwa mungkin memang belum rezeki untuk kali
ini. Tenang saja.
Sejak
saat menstruasi yang tidak biasa itu, saya mencoba menenangkan diri dengan
tidak berfikir macam-macam. Rasanya takut untuk periksa lagi. Takut kecewa,
tapi harapan memiliki buah hati semakin hari semakin kuat. Seiring bertambahnya
kegundahan akibat terlalu sering ditanya orang. Ya, namanya juga orang-orang
desa. Ada juga yang penasaran pada, urusan orang lain. Menurut saya, apa kata
orang, sudah tidak perlu dipikirkan. Biasa saja lah, kata suami saya begitu. Ya
sudahlah. Sebulan setelah kejadian itu, kami periksa lagi ke dokter yang sama.
Kali ini saya sudah memakai jaminan kesehatan yang saya punya, sehingga
membayar obatnya benar-benar gratis. Tapi hasilnya saya tetap menstruasi. Saya
pun tambah takut untuk periksa lagi. Takut kecewa. Saya pun menenangkan diri
dengan menikmati kebersamaan di rumah bersama Mungkas. Dia sudah menjadi anak
pertama bagi saya. Cukuplah dulu merawatnya, berusaha ikhlas sambil terus
berusaha. Kata suami begitu. Saya pun menurut.
Akhir
tahun 2014 keberanian saya mulai terkumpul lagi. Kami periksa lagi ke dokter
yang sama. Untuk ketiga kalinya. Hasilnya kami mendapatkan kejutan luar biasa.
Saya hanya bisa menangis, ternyata saya ada halangannya. Ada sesuatu di ovarium
saya. Ya Alloh, tolong saya. Tolonglah kami. Saya benar-benar patah semangat.
Saya berada di titik terbawah dalam hidup. Apalagi saya harus menyembunyikannya
di depan keluarga besar saya. Tepat di hari periksa kali ini keluarga satu
rumah berkunjung dan menginap di rumah kontrakan suami untuk ikut menikmati
suasana tahun baru. Mereka bergembira, tetapi tidak dengan saya. Saya menangis
seharian tapi tertahan, jadilah mata sembab. Hanya suami yang mengetahui ini.
Ya, Robbi kuatkan saya.
Secara
diam-diam kami pindah ke dokter lain. Dokter yang berbeda di rumah sakit
berbeda. Jawaban dokter kali ini sangat to the point, tidak ada toleransi sama
sekali. Sesuatu di saluran telur saya harus diambil sebelum merusak daerah
sekitarnya. Ya sudahlah. Kami sangat bingung untuk memutuskan yang terbaik.
Kami berpikir keras. Sampai akhirnya kami tidak kuat untuk menyembunyikannya.
Kami ceritakan semuanya ke orang tua dengan mendapatkan beragam respon. Yang
paling mengejutkan adalah tentang komentar saudara yang membuat kami cukup
heran. Meski kami tidak mendengarnya secara langsung. Menurut cerita dari
saudara dekat saya, ada yang menyalahkan kondisi saya. Sayalah penyebab suami belum
juga bisa punya anak. Apalagi kalau sesuatu itu diambil, pasti semakin ada yang
menyalahkan. Belum tahu kondisi sebenarnya saja sudah menyalahkan, begitu kata
saudara dekat saya. Tapi, kami hadapi dengan kesabaran. Semua hal berusaha kami
komunikasikan secara jujur, pada orang tua inti kami tidak pada yang lain.
Tidak juga pada orang yang berprasangka buruk kepada saya. Do'a dan saran dari
orang tua kami dan orang tua suami adalah hal yang sangat kami harapkan.
Ketika
saya dan suami membuka pembicaraan tentang hasil periksa ke orang tua saya,
orang tua saya menyarankan pindah dokter. Bapak mengatakan semua manusia kadang
punya pandangan yang beda terhadap satu masalah. Coba pindah ke dokter lain.
Bisa saja beda dokter beda diagnosa. Dan bismilah. Saya dan suami mencari
informasi kesana kemari, juga ke tetangga juga yang pernah mengalami hal
serupa. Sampai akhirnya kami melangkahkan kaki menuju tempat praktik dokter
yang direkomendasikan.
Atas
keyakinan pada orang tua dan keyakinan sesungguhnya pada do'a yang dipanjatkan.
Demi Tuhan, kami mendapatkan karunia yang luar biasa. Dokter kali ini
menyatakan, diagnosa dari dokter sebelumnya tidak usah dipikirkan. Fokuskan
dulu ke program hamil yang akan dijalani. Bismilah. Kami seperti mendapatkan
rezeki yang tak terkira. Kelegaan hati yang sangat luar biasa. Ketika itu juga
ada anaknya om melahirkan. Om menyarankan untuk mengakui anak yang lahir itu
sebagai anak saya dan suami, sebagai pancingan katanya. Ya sudahlah, saya
mengurusi kelahirannya. Membantu saat cucunya diberi nama. Membelikan segala
keperluannya. Tami nama anak yang diakukan ke saya dan suami itu. Oke. Jadi
tambah anak momonganku. Tapi, Tami ini tetap diasuh oleh kedua orang tuanya.
Jadi, jarang juga bertemu sebab rumahnya agak lumayan jauh. Tami, menjadi anak
momongan kedua bagi saya dan suami.
Kami
memulai program, proses demi proses. Kami pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Awal
periksa rahim saya di usg, ternyata ada penyumbatan disana. Mungkin sisa dari
menstruasi yang tidak biasa waktu itu. Menstruasi kala itu belum benar-benar
keluar secara bersih. Saya ditodong untuk pembersihan rahim saat itu juga,
tetapi suami saya yang tidak setuju. Niat awal mau periksa jadi mau pulang dulu
membicarakannya dengan orang tua. Dokter memberikan gambaran waktunya. Kami pun
pulang dulu untuk membicarakannya dengan kedua orang tua.
Di
hari yang disarankan dokter, saya periksa lagi untuk pembersihan ditemani mamah
saya. Bapak dan Mungkas menyusul nanti ketika sudah selesai supaya Mungkas
tidak mengganggu. Saat menunggu antrian, bapak dan mama mertua datang ke rumah
sakit. Ini sangat kejutan sekali bagi saya. Saya memang meminta do'a restu
sebelum berangkat. Tapi, saya tidak bilang apapun lagi selain itu. Ternyata
prosesnya sangat sebentar, menurut informasi suami penyumbatnya pun hanya
secuil saja. Saya diperlihatkan foto dan videonya setelah sadar dari pengaruh
obat bius. Syukur alhamdulillah, sudah bersih rahim saya. Dua jam setelah saya
siuman, kami bersiap pulang. Seminggu lagi kontrol dokter.
Seminggu
kemudian kami kontrol, kali ini suami yang disarankan periksa sperma. Kami pun
menuju laboratorium di lantai dua. Suami agak grogi, jadi spermanya tidak
keluar kala itu. Suami minta hari besok saja dia akan datang sendiri sepulang
kerja. Kebetulan memang jadwalnya sedang menginap di kontrakan. Baiklah, saya
menurut saja. Besok harinya suami berhasil melakukan tes yang tertunda. Dua
hari kemudian dia pilang dan meninjukkan hasil tes kepada saya. Saya bingung
bagaimana cara membacanya, suami memberitahu. Saya menerima apapun hasilnya.
Meski dokter menyarankan suami untuk rutim mengomsumsi telur selama empat
sampai lima bulan. Suami pun memulai makan telur, dua di pagi hari dan dua
telur di sore hari. Belum tepat satu bulan setelahnya, mamah saya menyuruh
berhenti makan telur. Sebab makan terus menerus juga takut berefek ke timbulnya
gangguan kolesteril. Ya sudahlah. Suami jadi menjarangkan, hanya makan satu
saat pafi dan satu saat sore. Tepat satu bulan setelah rutin konsumsi telur,
saya meminta suami periksa sperma lagi. Kaget saya melihat hasilnya karena
masih sama dengan hasil periksa waktu itu. Akhirnya saya yang meminta suami
berhenti mengkonsumsi telur.
Beberapa
minggu setelah berhenti mengkonsumsi telur saya dan suami periksa lagi untuk
menanyakan labgkah selanjutnya. Dokter menyarankan saya untuk HSG. Syaratnya
harus setelah menstruasi dan beberapa hari tidak berhubungan untuk memastikan
kondisi tidak hamil karena rahim akan di masuki alat secara manual, tidak ada
bius sama sekali. Saya disuruh ke.ruang radiologi untuk membuat janji dengan
petugasnya. Oh my God, apa ini maksudnya ya. Perlu dicari infonya lebih lanjut.
Saat keluar ruangan radiologi saya disapa teman saya yang di kota. Ternyata dia
mau HSG. Jadilah saya menungguinya, menanyakan bagaimana nanti prosesnya.
Memang saya sudah ada gambaran tadi, diberitahu petugas radiologi. Tapi saya
pun ada keinginan untuk sedikit tahu gambaran dari teman yang akan mengalami
HSG sebentar lagi. Saya pun menunggu teman saya HSG. Saat dia sudah keluar
ruangan radiologi, saya tanya-tanya dia. Teman saya itu diberi obat yang wow,
besar-besar sekali menurut saya. Dan itu harus dihabiskan semua, baik secara
diminum maupun di masukkan ke alat kelamin. Terbayanglah bagaimana rasanya.
Dua
minggu kemudian saya sudah membulatkan tekad untuk HSG. Prosesnya memang
sedikit mirip dengan sewaktu pembersihan rahim, tapi HSG itu tidak dibius
sedikitpun. Alat kelamin dimasukki alat untuk USG rahim secara detail. Diberi
obat jika diketahui ada yang perlu diobati, langsung dimasukkan obatnya.
Rasanya sedikit mules perut saya waktu diberi obat. Semua selesai dalam waktu
kurang dari setengah jam. Saya memakai pembalut setelah HSG karena memang
banyak darah yang dimungkinkan keluar. Beberapa saat menunggu, hasil HSG
keluar. Kemudian saya masuk ruangan dokter, saya tidak diberi resep obat
apapaun karena memang rahim saya sehat. Alhamdulillah. Berarti teman saya yang
HSG kemarin itu mungkin ada sesuatu jadi harus ada obatnya.
Setelah
HSG itu saya dan suami agak lama tidak periksa lagi. Saya kembali menenangkan
diri sebab sudah dua kali harus ditindak secara medis di daerah yang sangat
pribadi. Butuh waktu untuk melupakan dua proses yang baru terjadi. Kami
merencanakan hal lain untuk melipur hati dan jiwa. Kami.niatkan mendaftar
beribadah ke tanah suci di akhir tahun 2015. Semua proses pendaftaran berjalan
lancar, alhamdulillah.
Malah
kemudian, saya dan suami mendengar kalau kakak ipar (kakaknya suami) hamil anak
kedua dan sudah mengandung selama 4 bulan. Hmmmm. Tidak berapa lama setelah
itu, Mamah saya juga sakit dan harus berobat ke dokter spesialis. Bayangkan
bagaimana perasaan saya.ya Tuhan, tabahkan dan kuatkan saya. Suami memutuskan
untuk fokus kepada saya dan mamah saya. Dia tidak lagi mengontrak rumah. Dilaju
dari rumah. Berangkatnya. Meski memang juga ada alasan lain kenapa suami tidak
betah di rumah kontrakan. Dua teman satu rumahnya yang agak eror mungkin.
Suami
mulai dilaju bulan awal tahun 2016. Dari setiap harinya suami pulang ke rumah
jadi tahu bahwa teman kerjanya di sekolah islam itu juga banyak tang memberikan
saran agar bisa mendapatkan momongan. Ada yang bilang suruh banyak bersedekah,
menyantuni anak yatim, beribadah secara benar. Ada yang menyarankan untuk tidak
mendewakan maskawin yang diberikan suami saat menikah dulu. Mendengar semua
saran itu, saya menjual cincin kawin saya dan semua yang jadi emas seserahan
saat menikah. Saya berikan ke mamah untuk biaya berobat. Saya ikhlas melepaskan
semua demi ringannya langkah tanpa pendewaan terhadap apapun. Insyaallah.
Saya
juga ikhlas membantu kakak ipar saat dia butuh kesana kemari karena
kehamilannya mulai membesar dan sedang tidak bisa pergi kemana-mana. Karena itu
jadi sering silaturahmi ke rumah kakak ipar yang notabene bapak dan mertua juga
tinggal disitu. Saat kehamilan kakak ipar sudah memasuki bulan akhir sebelum
perkiraan melahirkan, bapak mertua menyampaikan ide kalau saya suruh ikut pijat
ke dukun bayi yang akan mengurus proses melahirkan kakak ipar. Pijatnya setelah
kakak ipar dipijat, si satu tempat yang sama. Dukun bayi kali ini berbeda
dengan dukun bayi yang anaknya dulu memberitahu ke dokter pertama saya periksa.
Yang kali ini dukun bayinya sedikit masih ada hubungan keluarga jauh. Sebut
saja Mbah Karsi.
Saya
masih ingat, saat hari Minggu tanggal 10 April 2016 kakak ipar minta diantar ke
rumah bidan. Sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Kebetulan mamah mertua
tidak di rumah, sedang ada acara keluarga. Sebab memang maju tiga hari dari HPL
nya. Jadi dikira belum akan lahir, ternyata sudah ada tanda-tanda. Secepat
kilat saya bereaksi dengan mengantar kakak ipar ke bidan. Menungguinya dengan
suami saya saat persalinan. Mama mertua di telp supaya pulang. Sejam kemudian
sudah sampai dan mama mertua yang mendampingi di ruang bersalin kemudian. Pukul
16.35 dedek bayi keluar. Menangis keras. Bayinya perempuan. Saya ikut
menggendongnya untuk pertama kali. Suami saya mengumandangkan adzan di telinga
dedek bayi. Benar-benar pengalaman pertama menunggui orang lahiran dan melihat
bayi baru lahir. It's amazing.
Setelah
sholat maghrib saya dan suami pamit pulang, gantian dengan bapak mertua yang
akan menunggui cucunya yang baru lahir. Kami pun pulang. Sampai di rumah kami
beberes, membersihkan badan, beribadah dan lain-lain. Selesai itu semua, kami
bersantai di kamar. Suami cerita tentang pengalaman mengumandangkan adzan untuk
keponakannya yang tadi baru saja lahir. Kata suami itu pengalaman pertama yang
tidak akan terlupakan. Entah kenapa saya sangat sedih dan merajuk di depan
suami.
"
Kenapa bukan saya yang istrimu yang. Yang menberikan pengalaman pertama
buatmu..."
Saya
menangis sejadi-jadinya mengutarakan perasaan bahwa sudah sangat ingin memiliki
anak. Suami hanya memeluk dan mengelus rambutku. Saya sendiri tidak tahu kenapa
rasanya nelangsa sekali. Saya,menangis sesenggukan. Ya Allah Ya Karim, ada apa
denganku...
Seperti
yang sudah direncanakan sebelumnya, saat kakak ipar melahirkan saya ikut
meminum jamunya, saya ikut pijat ke dukun bayinya dan diberi wejangan ini itu.
Kebetulan saat pijat saya baru saja selesai menstruasi, jadi dalam masa subur.
Saat proses itu saya dan suami berhubungan badan dua kali. Ada juga anaknya
mbah yang juga melahirkan, saya ikut meminum jamunya. Tapi tidak ikut pijat
karena dukun bayinya sama dengan dukun bayinya kakak ipar. Semua itu saya
lakukan dengan pasrah. Berani berharap berani kecewa, sudah seperti itu yang
ada dipikirkan saya dan suami.
Tanggal
28 April 2016 saya merasa tidak enak badan, sampai harus periksa ke dokter
terdekat. Kebetulan dokternya perempuan, teman SMP suami saya. Kami ngobrol
akrab, dan ternyata bu dokter itu sedang hamil. Saya sempat mengucapkan
selamat. Bu dokterpun bertanya, " Njenengan sedang tidak hamil mbok,
mba?"
Saya
menjawab, "Kayaknya sih belum hamil bu, soalnya tadi agak keluar
coklat-coklat. Mungkin sebentar lagi mens."
Dua
hari minum obat, panas dingin di badan berkurang. Tapi pusing di kepala dan
rasa ingin meludah itu belum berkurang. Suami mulai menduga sesuatu kemudian
jadi takut, dan selanjutnya menyuruhku untuk tidak minum obat di hari ketiga.
Beberapa hari kemudian gejala masih sama, perkiraan menstruasi semakin dekat
tapi tidak datang juga. Sehari sebelum tanggal menstruasi bulan berikutnya saya
menyuruh suami membeli testpeck. Suami ternyata membeli dua. Rasanya tak sabar
menunggu suami pulang kerja, sampai akhirnya di malam hari saya cek urin.
Alhamdulillah puji syukur atas segalannya ya Allah, testpeck menunjukkan strip
dua. Suami saya memeluk sangat erat, menciumku, mengucapkan selamat sambil
terus menerus memandang demgan sangat mesra. Saya pun rasanya sangat terkejut
dengan ini semua, ini adalah anugerah terindah dari Tuhan menjelang genapnya
usia pernikahan di hitungan ketiga tahun.
Puji
syukur, tepat di tahun kedua bulan ke sembilan saya merasakan gejala
tanda-tanda kehamilan. Tepat di usia keduapuluh sembilan, Allah genapkan waktu
untuk saya, suami dan keluarga besar berbahagia menantikan hadirnya anak
pertama dan cucu pertama. Kami selalu menyebutnya bintang. Karena kami akan menamainya
kelak dengan sebutan itu. Bintang yang sangat kami nantikan kehadirannya.
Bintang
yang semoga bisa jadi obat untuk kakek dan neneknya. Bisa jadi teman untuk
momonganku tercinta, Mungkas. Bintang di hadirkan Tuhan di waktu Mungkas
sekarang sudah berumur enam tahun dan sudah kelas satu SD. Sungguh. Mungkas
ikut berbahagia menyambut adiknya yang akan lahir. Dia sering ikut mengelus dan
mencium perut saya. Bahkan sering ikut mendo'akan sewaktu selesai sholat.
Mungkas berkata: " Ibu, aku berdo'a biar adik di perut ibu cepat keluar.
Kan nanti aku jadi ada temen ya bu di rumah.". Bahagianya mendengar hal
itu dari dia.
Kami
juga masih terus mengharapkan do'a dan dukungan dari semua orang. Bintang yang
kami harapkan masih ada dalam kandungan saya dan masih berumur empat bulan.
Masih ada lima bulan yang harus dilewati. Semoga, di saat kelahirannya nanti
benar-benar membawa kebahagiaan bagi kami semua. Aamiin aamiin ya robbal
'alamiin. Terimakasih ya Alloh atas segala karuniaMu. Semoga kita semua selalu
diberi kesabaran, ketenangan dan kedamaian. Aamiin. []
Bagaimana kisah Yahnda Bunda semua? Sudahkah
Bunda abadikan?
Maa syaa allah sungguh perjuangan yang luar biasa mba, sehat2 ya kakak jesi, tumbuh jadi gadis salihah, cerdas dan cantik, allahumma amin
BalasHapusAlhamdulillah, Allahumma Aamiin.
BalasHapusTerima kasih Mbak Nyitt
Ga sanggup baca detail, antara takut dan terinspirasi ka, soalny saya juga sering mens tidak teratur bkin bener2 khawatir kemudian kalau berumah tangga. Trims sharingnya ka
BalasHapus