CUCU SANG KIYAI PART 3

CUCU SANG KIYAI
Betty Irwanti
#part3

Malam ini adalah malam spesial kedua bagiku, setelah menjemputnya waktu itu. Isa datang ke rumahku tepat pukul 19.30, sesuai pesan dia di gawaiku. Sekarang dia sedang berbincang dengan kedua orang tuaku, aku sendiri undur diri ke dapur untuk menyiapkan minum dan menghidangkannya.

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk kembali di depan Isa.

"Jadi, kemarin Isa baru saja pulang dari Malaysia ya?" tanya ayahku pada Isa.
"Nggih, Pak." dia menjawab sembari tersenyum. Senyum khasnya yang memesona.

Topik perbincangan seputar kegiatan kerjanya selama hampir tiga tahunan di sana. Aku masih belum ada banyak kesempatan bicara, masih menyimak dengan setia. Sampai pada suatu pertanyaan dari ayahku mengagetkanku.

"Jadi, begini ya Nak Isa. Kami dari pihaknya Bela, ingin menanyakan hari lahirmu. Hari biasa dan pasarannya. Kami akan menghitung hari baik dengan hari lahir kalian berdua."

Aku dan Isa saling pandang. Dia kemudian menjawab pertanyaan ayahku dengan memberitahu hari lahir dan pasaran Jawanya. Memang menjadi adat kebiasaan di sini kalau mau menikah harus pakai hitungan dahulu. Yang aku tahu, kakekku juga paham hitung menghitung menggunakan hari lahir begini. Ah, sudahlah aku tak begitu paham.

Ayahku kembali melanjutkan perkataannya, "Jadi, sampaikan ke Abah Nur dan Emak Imah kalau nanti sudah ketemu harinya, Bela yang akan memberitahukan informasinya. Atau kalau dari keluarga kalian ingin juga ikut menghitung juga boleh. Kamu, boleh tanya hari lahir ke Bela sendiri nanti ya?"

Ibuku menambahkan, "Salam untuk semua keluargamu ya, kita bertetangga. Tidak menyangka ternyata Allah akan menyatukan keluarga kita."

Aku tersenyum sumringah. Ayahku pamit karena ada acara pengajian rutin di masjid dekat rumah Isa. Begitu pula ibuku, beliau pamit untuk menghadiri acara sejenis di rumah tetangga kampung sebelah. Isa juga pamit, mengajakku makan malam di luar. Orang tuaku mengijinkan, asal pulangnya tidak larut malam.

Aku dan Isa saling berpandangan, entah dari mana akan memulai obrolan. Sejak satu jam yang lalu kami berdua hanya mendengarkan, iya. Hanya mendengarkan kedua orang tuaku. Sekarang giliran kami kembali menyambung perasaan? Oh, tidak. Sungguh sebuah rasa yang sulit kudefinisikan.

Malam pun merangkak naik dan terus naik. Semenit menyapa hangat, dua menit kemudian kami larut dalam diam. Lengang. Pertemuan kedua kali ini masih dikelilingi oleh selaput bernama kekakuan. Selaput yang akan segera terkoyakkan.

***

Kami duduk berdua duduk berhadapan, di depan kami ada hamparan kolam ikan yang luas, juga ada banyak lampu temaram. Rumah makan ini masih ramai meski sudah malam. Eh, tidak begitu malam dibanding waktu kujemput Isa kemarin.

"Dek!!" panggilan Isa mengacaukan lamunanku, aku pun mengalihkan pandangan. "Ada apa, Mas?"

"Ah, jangan Dek Bela panggil dengan sebutan Mas lagi, kita sebentar lagi naik pelaminan."
Mukaku bersemu merah. Ya Rabb, Isa begitu romantis.

"Lalu, Mas Isa mau panggil aku apa?"
"Panggil, Yang saja boleh? Ya, sayang?"

Aku semakin tersipu. Oh, Isa. Kau selalu bisa membuatku terpesona.
"Kalau begitu, terserah Mas saja. Aku manut."

Pramusaji membawa nampan berisi hidangan yang sebelumnya telah kami pesan. Gurami bakar, cah kangkung dan udang saus tiram, kesukaannya. Ada jiga menu lalapan komplit plus tiga varian sambal yang sangat menggoda.

Di Malaysia sana kata Mas Isa, dia jarang sekali bisa makan ikan. Menu di asramanya keseringan ayam goreng, sayur pun jarang. Makanan kesukaannya Ipin dan Upin. Bosan katanya. Jadi, dia yang berinisiatif memilih menu tadi. Sepanjang perjalanan memang ada obrolan sedikit untuk menentukan tujuan, hendak kemana kami dinner malam ini.

"Mas, besok aku mau ke kota. Ada keperluan?" ujarku di sela acara makan.
"Acara apa, Yang?" Mas Isa penasaran.
"Alhamdulillah baru dapat gaji ke-13, mau beli mesin cuci, Mas. Eh, Yang." jawabku gugup. Belum terbiasa dengan panggilan itu.
"Oh, ya sudah beli saja." tambah Mas Isa.
"Mas Isa, tidak mau menemaniku kah?"
Dia diam sesaat, lalu "Tidak, Yang. Besok aku ada acara juga, diajakin Abah ke rumah Eyang di luar kota."
"Eyang yang adiknya Eyang Baedi, kah?"

Mas Isa mengangguk. Aku pun mengangguk tanda mengerti. Aku sedikit  tahu, siapa saja keluarga Mas Isa. Kami kan bertetangga.

Mas Isa, sayangku. Mau ada acara keluarga. Silaturahmi ke rumah eyangnya. Mungkin mau mengabarkan berita bahagia atau mau berembug soal hari. Aku tidak tahu menahu, dan aku belum sempat menanyakan itu.

Aku tidak ingin merusak acara malam ini.

***

Aku belum bisa memejamkan mataku. Tanganku, masih memegang amplop putih dari Mas Isa, sayangku. Dia menitipkan ini, untuk ditukarkan ke money changer di kota. Isinya beberapa lembar uang kertas, ringgit Malaysia.

"Yang, besok kamu tukarkan uang di amplop ini ya. Uangnya bisa kamu pakai untuk membeli keperluan apapun sesuai dengan kebutuhan kita "

Itu pesan Mas Isa, tadi.

"Iya, Mas. Aku akan tukarkan. Paling nanti aku akan belanjakan untuk keperluan yang masih kurang. Termasuk box seserahan dan mahar. Sesuai kesepakatan kita, kita akan menghias sendiri kan."

Mas Isa tersenyum, "Sesuai saran dari calon istriku tersayang."

Aku tersipu.

Ah, Mas Isa selalu bisa diajak bermusyawarah bersama. Semoga akan selalu begitu ya, sayangku.

Aku beranjak dari pembaringan. Meraih dompetku dan memasukkan amplop itu ke dalamnya. Kutaruh dompetku ke dalam laci meja. Tanganku menyentuh sesuatu. Eh, amplop juga? Amplop berwarna kalem bergambarkan bunga matahari. Kubuka dan kubaca lagi amlop itu untuk kesekian kalinya.

--Dear Honeyku, Bela Triani.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Gimana kabar, adekku yang manis? Semoga dalam keadaan baik-baik dan sehat. Senantiasa dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Aamiin aamiin.

Saat menulis surat ini hatiku gerimis, tiada henti berdoa semoga Allah SWT menyejukkan hatimu, menerangi pikiran, membersihkan jiwamu dan mengangkat kita dari segala penderitaan dan kepiluan.

Dek, terimakasih. Mas mulai membaca semuanya. Kalau Mas merasa harus setia pada cintamu, belahan jiwaku. Aku berharap demikian atas dirimu, dek. Setialah juga pada cintaku. Mas berharap cinta kita akan terus ada, akan selalu meningkat dalam hati. Seperti jalannya rasa iman ini pada Illahi Rabbi, yang tak akan pernah surut. Aamiin aamiin.

Udah dulu ya dek, sambung smsan.

From Your Love, Isa Muhammad—

***

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#day3

Rumah Clever, Cilacap, 4 September 2018: 22.08.
Ibu Jesi.

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

8 komentar untuk "CUCU SANG KIYAI PART 3"