Tanpamu Hidupku Radueroso





Ramadhan Writing Challenge
#RCO
#Day25
#OneDayOnePost
#THR

Pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja / keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia.

Pendapatan yang dimaksud bisa sejumlah gaji pokok atau gaji yang diterimakan pada bulan terakhir seperti yang ditandatangani pegawai dalam slip gaji yang terakhir.

Dulu, THR dibagikan tunai kala gaji belum sepenuhnya masuk rekening pribadi pegawai. Kini, tinggal cek ke ATM terdekat saat ada notifikasi dari teman yang sudah dapat SMS-banking atau M-banking insyaallah kebutuhan lebaran akan terbeli kemudian.

Tidak ada rencana apapun kaitannya dengan THR tahun ini. Selain ada agenda pacitan yang dibagikan untuk keluarga besar dari Mbah Uti. Ini sudah biasa. Untuk keluarga besar dari Mbah Kakung tahun lalu ada buka bersama, tapi tahun ini tidak. Biarkan waktu menentukan rencana dan kuasa-Nya.

Aku hanya makhluk Tuhan yang hanya bisa berencana, tetap ada campur tangan Yang Maha atas segalanya.

"Yah, sudah cek ATM-mu apa belum?"
"Belum, emang kenapa?"
"Kata temanmu di grup arisan, THR 'dah turun,"
"Tadi Ibu nggak bilang?"
"Bilang gimana wong gadget dipinjam Bebi Jesi terus,"
"Oh, ya udah. Besok aja ngeceknya."
"Kok tumben cepet THR-nya keluar?"

Aku mengangkat bahuku. Istriku pun berlalu. Dia menaruh tas kerjaku di atas meja kerjanya. Entah ke mana kemudian dia pergi kemudian. Tak lagi kuperhatikan.

Aku menghampiri puteri kecilku yang sedang main gadget. Menyapa dengan kata-kata manja yang menjadi ciri khasnya. Bebi Jesi menengok, mencium lalu memelukku. Bahagia yang tak pernah bisa kutuliskan dengan kata-kata. Jerih seharian dan lelah dalam perjalanan berganti semangat yang tak pernah bisa kudefinisikan.

Dialah bintang kehidupanku. Bintang yang akan terus bersinar seterang mentari. Dia yang akan senantiasa berguna layaknya matahari.

Istriku kembali, entah dari mana dia tadi.
"Yah, kalau besok THR-mu sudah cair kamu mau ngapain?"
"Ya, ambil lah. Buat bayar pacitan dan lain-lain,"
"Emang kenapa?"

Dia menggeleng, "THR-ku kapan turun ya?"
"Katamu waktu itu katanya tanggal 24?" jawabku sambil menggendong Bebi Jesi.
"Semoga saja ya, Yah?"
"Emang kenapa yang dibahas THR terus?"
"Aku kepengen beli sesuatu sih? Tapi belum tahu apaan?"

Aku menertawakan jawaban istriku kemudian meninggalkannya begitu saja. Biarkan dia berhayal dan berencana. Toh kendali ada padaku. Salah sendiri dia tidak mau pegang ATM. Semua aku yang pegang. Sejak hamil Bebi Jesi dia tak lagi mau repot bolak balik ATM. Katanya biar aku saja. Ya wis lah. Aku si seneng-seneng aja. Hehehe. Ini bagian dari kebijaksanaan internal masing-masing keluarga.

Istriku selalu berembug untuk urusan apapun. Terutama yang menyangkut dengan urusan keuangan. Ia tidak akan serta merta mengambil tindakan tanpa persetujuanku. Bahkan untuk urusan wardrobe Bebi Jesi pun dia akan bertanya atau menyerahkan segalanya.

"Yah, nanti kalau THR sudah turun. Jangan lupa beli baju buat Bebi Jesi,"
"Baju? Baju buat lebaran? Kalau itu pasti..."
"Bukan cuma itu, ayah..."
"Lha, apalagi?"
"Liatin tuh, lemarinya Bebi Jesi!  Baju sudah pada cungklang semua. Mungkin sudah waktunya hunting size terbaru."
"Oh, bisa diatur."
"Lha itu kemarin baju yang dibeliin Ayah gimana?"
"Nah, iya. Seukuran itu."

Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Pada dasarnya istriku sangat penurut. Apapun yang sudah kubawa pulang, dia takkan pernah protes. Apalagi kalau bukan soal selera yang selalu pas di hatinya. Eh, bukan lagi pas. Tapi level puas itu selalu melebihi ekspektasinya. Dia bilang aku ini pintar urusan milih-milih. Bahkan lebuh ribet dari dia kalau urusan belanja. Aku lebih detail, jauh lebih detail darinya. Kami mungkin diciptakan sebagai pasangan yang super detail memikirkan segala sesuatunya.

"Ayah, jangan lupa zakat 2,5% untuk THR nya lho. Aku juga biasanya begitu."
"Iya, Bu. Sudah aku hitung dan sebagian aku masukkan ke kotak amal masjid. Sebagian lagi mau aku berikan ke saudara yang membutuhkan. Atau mau aku tukarkan jadi uang receh. Bisa juga. Buat bagi THR ke anak-anak yang kurang mampu."
"Oh, kalau aku di sekolah memang selalu dipotong buat dibagikan ke rekan yang membutuhkan. Sebagai wujud bersyukur karena sudah mendapatkan rezeki yang luar biasa."
"Itu bagus. Seperti apapun mekanisme yang kita pakai, intinya berbagi itu indah. Karena sebagian dari harta yang kita punya itu bukan sepenuhnya milik kita."
"Wah, ayah jos tenan. Udah kayak pak kiyai aja."

Aku meringis, "Iya dong. Aku kan cucu sang kiyai?"
Giliran istriku yang tersenyum lebar.

Aku memang cucu sang kiyai. Kiyai Ahmad Baedi. Imam masjid Baitul Mukmin yang kini sudah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Kiyai yang adalah Ayah kandung dari Bapakku sendiri. Bapak Nur Syahid yang punya nama muda Nur Tulus.

Bapak yang selalu tampil awet muda meski usianya sudah semakin tua. Bapak yang selalu taat pada agama meski iman kadang naik turun adanya. Beliau yang selalu menjaga bacaan Al Qur'an setiap waktu. Beliau yang selalu mengumandangkan adzan meski kebanyakan orang masih lelap dalam tidur.

Beliau yang selalu aktif meramaikan masjid meski kini sudah hijrah ke rumah anak pertamanya. Dulu, ketika masih mondok di rumah dekat masjid dekat pasar beliau bahkan lebih rajin dari ini.

Betapa ketulusan hadir dalam setiap nadi kehidupan keluarga yang membersarkanku. Meski kami bukan keluarga berada tapi kami bahagia. Bahagia karena kami selalu bersikap apa adanya. Bukan ada apanya.

Betapa ketulusan itu semakin tergenapi dengan hadirnya istriku yang tak kalah tulus mencintai. Ia yang sempat menutup diri sebab sudah terlanjur jatuh cinta padaku. Itu katanya. Kalau kataku, aku yang terlanjur jatuh cinta padanya. Pada dia yang sederhana meski bisa saja ia hidup berlebihan. Pada dia yang bisa saja sombong tapi dia tidak melakukannya. Pada dia yang selalu mengutarakan cinta meski pernikahan hampir menunjuk angka enam pada tahun ini.

Aku belajar pada dia, istriku tercinta. Termasuk belajar untuk merangkai kata-kata. Nyatanya kini, aku bisa menuliskan ceritaku. Cerita cinta penuh ketulusan. Cerita cinta menantu bapak Nur Tulus.

"Yang, THR!"
"Apalagi sih?"
"Tanpamu Hariku Rindu"
"Halah gombal!"
"Asli, beneran,"
"Tanpamu Hidupku Ra due roso,"
"Bohong!"
"Tanpamu Hatiku Riweh,"
"Riweh?"
"Rindu sewayah-wayah..."

Aku tertawa terbahak-bahak. Asli itu bukan rayuan gombal. Itu muncul spontan seketika itu juga.

"Tumben Ayah nge-gombal begitu. Ceria amat. Habis ngapain emang?"
"Coba tebak kenapa?"
Istriku menggeleng.
"THR dong sayang!"
"Halah, THR lagi..."
"Iya, coba lihat ini!"

Aku memberikan kertas putih berlokasi sebuah bank nasional. Istriku tersenyum semringah kemudian memelukku.

"THR sayang,"
"Hehe"
"Tanpanya Hadiah Ra bisa tekan"
"Hahaha, bisa ae..."

🌸

@CleverClass, Cilacap, 18 Juni 2019: 08.03
Betty Irwanti Joko
Ibu Jesi
Nyi Bejo Pribumiluhur

#1010kata

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

Posting Komentar untuk "Tanpamu Hidupku Radueroso"