Perjalanan Hijrah Ibu Jesi



#Day17
#OneDayOnePost
#EstrilookCommunity

#Day17
#OneDayOnePost
#KomunitasODOP
#PjOprecOdop7
#GrupTokyo
#DosbingNAC

PERJALANAN HIJRAH

Ya Allah, aku selalu rindu saat-saat SMA dulu. Saat aku, Miah, Desi dan Indri saling mengisi dan bersatu. Kami bukan saudara, kami hanya teman bersekolah di SMA Negeri 3 Cilacap antara tahun 2002-2004, tapi kami menjadi saudara hingga kini. Sungguh, rindu itu berkumpul di dada dan entah kapan kami akan bersua. Karena masing-masing kami sibuk dengan tugas negara dan keluarga di daerah yang berbeda.

Kenapa aku begitu rindu dengan mereka bertiga? Karena bersama mereka aku menemukan jalan hijrah yang luar biasa. Entah karena Tuhan menakdirkan kita untuk menjadi teman di dunia dan surga-Nya kelak. Tapi aku selalu yakin dan percaya, ada bagian hidup yang indah yang selalu membersamai kita dalam satu cinta. Cinta hijrah ke arah kebaikan dan keberkahan.

Sungguh, aku rindu perjalanan hijrahku. Perjalanan Hijrah Ibu Jesi:

1. SMA masuk Rohis

Aku memutuskan untuk memakai jilbab saat masuk SMA. Meski waktu aku masih suka nyeleneh. Masih suka menggulung baju sampai siku. Masih suka bedigasan, bertingkah laku seperti laki-laki.

Bukan tanpa alasan aku berbuat seperti itu. Karena perjalanan jauh, naik sepeda pula setiap hari dari tempat tinggal ke sekolah membuat sering dilanda gerah. Alhasil ya begitulah. Itu saat aku kelas satu. Ketika aku mulai akrab dengan Desi Indriani, teman ngayuh sepeda setiap pagi.

Saat kelas dua kami bertambah kenalan, ada dua teman yang super kalem bernama Darmiyah dan Indriani Puspita Dewi. Aku dan Desi mengenal mereka ketika sama-sama berminat bergabung di ekstrakurikuler rohaniawan sekolah (Rohis). Dari situlah perjalanan hijrahku dimulai.

2. Ke Jakarta 3 bulan

Kelas dua SMA menjadi masa paling indah dalam perjalanan hijrahku. Dimana kami berempat waktu itu benar-benar menjadi sahabat salihah paling solid pada masanya. Kami selalu ingat mengingatkan dalam kebaikan dan urusan taqwa. Sampai di kelas tiga kami masih bersama-sama. Bahkan ketika kami memutuskan untuk foto dengan memakai jilbab untuk ditempel ijazah, kami semakin membulatkan tekad.

Lulus dari SMA tak membuat kami putus hubungan. Sempat sampai sekita setengah tahun kami masih terus mengaji bersama meski harus berkunjung melintasi banyak daerah. Setelah itu aku pergi ke Jakarta.

Tapi di ibukota aku hanya bertahan 3 bulan saja. Ada semacam saran untuk membuka jilbab agar mudah mendapatkan pekerjaan. Gampang setelah dapat kerja nanti jilbabnya bisa dipakai lagi. Sungguh, aku tak bisa melakukan itu semua. Lebih baik aku yang hijrah. Kembali ke kampung halaman dengan niat semoga bisa meraih berkah. Ternyata hatiku mengambil kesimpulan, bahwa Jakarta bukan tempat yang cocok untuk perjalanan hijrahku.

3. Kembali ke desa

Aku kembali ke desa. Dengan segala semangat yang baru. Aku masih dengan iman dan ketakwaan yang kuat. Sekuat baja. Meneruskan keinginan melanjutkan sekolah itu menjadi jalannya. Dan benar saja. Di lingkungan ini tidak ada masalah dengan jilbabku. Bahkan aku semakin nyaman dibuatnya.

Aku sempat menutup diri untuk bergaul dengan rekan, teman atau tetangga lawan jenis. Kenapa? Karena aku masih canggung. Aku masih terbilang paling muda, jadi masih rikuh pekewuh. Sementara rekan kerja yang baru adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupku, merekalah guruku di masa aku sekolah dasar dulu.

Aku sering berdiskusi dengan pak guru Agama kala itu. Halo, Pak Zainal Maki, yang sekarang sudah bertugas di SMPN 3 Bantarsari. Kami sering tukar ilmu dan sharing sama-sama. Hasilnya, aku belajar banyak hal. Termasuk dari pak guru idolaku luar biasa salehnya, yang sebentar lagi memasuki usia pensiun. Halo Abah, semoga selalu sehat dan bahagia ya. (Diam-diam aku ingin menuliskan biografi beliau, tapi untuk itu aku perlu wawancara. Kapan bisa ya?)

4. Membaur dengan semua

Menyendiri itu jelas tidak enak. Tidak enak bagi diri sendiri, juga tidak enak bagi orang lain. Awal masuk dunia kerja aku lebih sering menyendiri. Masih sibuk dengan urusan iman dan taqwa secara pribadi. Jelas ini egois. Idealisme yang tidak beralasan.

Lambat laun aku mulai membaur. Dengan tidak mengurangi semangat hijrah dari dalam diri, aku masih rajin mengaji. Aku ikut kajian Nasiyatul Aisyah yang ada di TK Aisyah Kecamatan Kawunganten. Dan dari sanalah aku bertemu dengan sosok pribadi luar biasa, seluar biasa Mbak Kayla Mubara (Khulatul Mubarokah). Aku menemukan saudara baru, yang juga sampai sekarang masih menjalin hubungan dan komunikasi dengan mesra. Sebab tugas keluarga dan sudah tinggal di lain daerah juga.

Semangat hijrah itu semakin sempurna dengan pergaulan sempurna yang kembali merona kala itu. Kemana-mana kami selalu pergi berdua. Tidur satu kasur pun pernah juga. Bahkan riwayat kisahku dari A-Z, aku cerita pada Mbak Kayla.

5. Bertemu semangat yang sama

Beberapa lama kemudian aku dan Mbak Kayla harus terpisah sebab dia menikah dan harus pindah mengikuti suaminya. Meski begitu aku tetap berhubungan dengannya meski hanya lewat dunia maya. Sungguh, betapa beruntungnya aku mengenal dia dan keluarga. Keluarga yang luar biasa.

Entah karena sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, waktu itu bahkan sosok Ayah Jose sudah hadir mengisi cerita. Bahkan Mbak Kayla tahu tentang itu semua. Makanya, dalam novel perdanaku berjudul Isa Bella, ada gambaran tokoh dirinya juga menyerta.

Bertemu Ayah Jose tanpa kesengajaan sebab suatu agenda kegiatan pada akhir tahun 2006, menjadikan aku semakin mengenal sosok Cucu Sang Kiyai itu. Sosok yang sangat berbakti kepada kedua orangtua. 37 tahun semasa hidup hingga kini, belum pernah ia marah dan dimarahi oleh orangtuanya. Coba apa resepnya, coba? Resep itu menular ke diriku yang saat ini sudah membersamainya selama hampir tujuh tahun. Aku merasa sangat beruntung bertemu semangat yang sama. Semangat mencintai dan dicintai-Nya. Semangat hijrah ke arah yang lebih baik.

6. Rindu masa itu

Sering aku merindu masa itu. Sering pula aku bercerita pada suami tentang kerinduanku. Yang bisa kami lakukan saat ini adalah menjaga silaturahmi dengan semua orang yang kusebutkan dalam uraian di atas. Kalau kata generasi kekinian mungkin mereka akan menyebut, Friends Forever. Dan rasanya dua kata itu cocok bagi kami.

Dari empat sahabat yang memulai perjalanan hijrah bersama-sama saat belajar di SMA Negeri 3 Cilacap, hingga kini aku masih sering waprian dengan salah satu diantaranya. Dengan bu guru yang sekarang sudah bahagia dengan dua puteri dan satu puteranya. Sungguh, kami bernasib sama untuk urusan rezeki di dunia. Kami sama-sama menjadi PNS angkatan tahun yang sama. Apakah ini terjadi dengan begitu saja. Pasti ini atas campur tangan dari Sang Maha Kuasa.

Dua sahabat selalu kurindukan, bahkan sering terbawa sampai ke mimpi-mimpi malah. Ah, betapa aku rindu saat kami bersama untuk mengaji dan mengkaji kebenaran. Semoga bu guru Desi di Cilacap Kota sana selalu sehat ya, juga untuk bu perawat Indri yang sekarang sudah pindah ke Cimahi dan bertugas di RS Hasan Sadikin. Mereka semua entah kenapa, juga PNS. Padahal saat SMA kami sama sekali tidak janjian mau jadi apa mau jadi apa. Kami hanya larut mempelajari keagungan Sang Maha Pencipta.

7. Muhasabah diri

Dari semua kerinduan itu, aku menjadi banyak bermuhasabah diri. Sungguh, jauh sekali kesalehan masa itu denganku di masa kini. Aku yang kini sering abai dengan ngaji dan mengkaji kalam Illahi. Sering larut dalam hal duniawi yang membuat waktuku begitu cepat berlalu tanpa ada kesan di hati.

Sungguh, aku belajar banyak dari suamiku. Aku sering mengajukan diri untuk mengaji bersamanya. Itu yang menjadi dasar kami bulan Ramadhan kemarin berlomba untuk bisa khatam bersama. One Day Juz itu solusinya, meski kadang aku suka bolong tapi tidak dengannya, sosok suami salehah nan sempurna.

Ya Allah, semoga niatku untuk khatam bersama anak-anak satu tahun sekali itu juga menjadi sarana. Saranaku untuk bermuhasabah diri dan terus mengkaji kebenaran yang hakiki. Aku ingin berubah, hijrah ke arah kebaikan nan barakah. Semoga kami selalu semangat untuk bisa istiqamah. Istiqamah bersama suami, bersama keluarga, bersama anak-anak murid dan bersama semuanya.

Sebab hijrah itu akan sangat indah jika dilakukan bersama orang-orang tercinta.

Because change alone is unchanging.

Sebab hijrah sendirian itu sama saja kegeoisan.

Padahal jelas-jelas dalam Al Qur'an ada ayat "Sampaikanlah walau hanya satu ayat!"

Iya, kan?

Mari hijrah sama-sama

Bersama Bebi Jesi yang tepat hari ini genap berusia 32 bulan. Tak terasa sebentar lagi kamu sudah 3 tahun, nak...

Semoga selalu sehat, salehah, cerdas dan ceria selalu ya. Aamiin.

Sungguh, ibu selalu dibuat terkagum.

Ternyata, Kamu belajar lebih cepat dari yang aku kira.

Buktinya, sekarang bahkan kamu sudah bisa mengendarai sepeda mini tanpa dijaga, hanya dua roda sebagai pembantu penopang saja.

I love you Baby

Aku mencintaimu bahkan sejak kamu belum lahir saat itu.

I love you more than world in word
Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

6 komentar untuk "Perjalanan Hijrah Ibu Jesi"

  1. Ayah jose "yang tak sangat berbakti" ~ini mestinya yang sangat gt y.. Baarokallahulakum kakak ...

    BalasHapus
  2. Hmmm...perjalanan yang cukup terjal tetapi menyenangkan ya mba betty...

    BalasHapus
  3. Bahagianya ketika masa SMA, yang kata orang masa paling indah dilalui dalam hijrah sehingga menjadi kenangan yang bukan hanya indah tapi sangat indah sekali

    BalasHapus
  4. Emot bahagia penuh cinta, bersamai hijrah kita

    BalasHapus