Diary Ibu Jesi: Me Versus My Baby

ME VERSUS MY BABY

Cie elah, judunya pake bahasa Inggris segala. Emang yang nulis ngerti artinya? 😁

Oke, oke. Pastinya ngerti dong ya. Me Versus My Baby bisa diterjemahkan bebas menjadi, "Aku Lawan Bayiku". Ya Allah, masa bayi sendiri dianggap lawan.

Eh, eh, wait, wait, wait. Wait beauty ya darling. Baca cerita ini dulu, jangan buru-buru menyimpulkan sesuatu.

*

Sebelum cerita tiba-tiba aku teringat sesuatu, bagaimana jika Cucu Sang Kiyai judulnya ganti saja jadi, "Isa Bela" oke oke, lebih gimana gitu ya. Mengingatkanku pada judul lagu Malaysia jaman old. Hemhmmm

Insyallah minggu depan Isa Bela akan kugarap lagi, oke oke. Back to the topik. "Me Versus My Baby"

**

Sejak dinyatakan hamil, banyak keajaiban yang terjadi. Yang benar-benar mengherankan adalah aku jadi tidak mabuk kendaraan. Itulah yang kurasakan. Apakah itu aneh? What? Iya, aku memang suka puyeng kalau naik kendaraan, apapun jenisnya yang penting beroda empat. Umpama besok mau bepergian nih, baru denger mau naik mobil, dari sorenya aku sudah mumet duluan. Serasa sudah bau asap mobil, tiba-tiba mulut isinya kayak garem semua, jadilah semangat travelling menyurut seketika. Oh My God, what happened with me?

Tapi, memang begitulah aku. Aku memang berpotensi mabuk kendaraan sejak kecil, itu kata Mamaku. Wong serumah sebagian besar 'mabokan' semua, kecuali adik dan suamiku. Mereka sudah pernah bepergian dengan pesawat terbang, lah aku? Aku memang belum pernah naik pesawat terbang, sama sekali. 'Berharap dengan menulis, impianku naik pesawat terbang bisa terkabul. Aamiin.'

Keajaiban itu terjadi erat kaitannya dengan Bebi Jesi (BJ). Ketika dinyatakan hamil oleh test pack dan Bu Bidan, kemudian aku menetapkan diri untuk rutin berkunjung dan berkonsultasi pada satu dokter kandungan di kota, yang jarak tempuh dari rumah sampai ke tempat praktiknya itu sekitar 41 km, dekat sekolahan suamiku (Jose: Joko Septiono). Tidak diperbolehkan naik sepeda motor karena kehamilan pertama yang sangat dinantikan, jadilah aku harus naik mobil, kan. Ya sudahlah, aku berpasrah. Mau mabuk atau tidak ya dinikmati.

Biasanya aku selalu minum obat anti mabuk kendaraan, sebelum bepergian. Berhubung sedang hamil, sangat tidak disarankan kan? Ibu hamil hanya boleh minum obat yang dibolehkan dokter dan bidan, salah satu bocorannya adalah pracetamol murni, bukan yang campuran.

Kebetulan keponakan suamiku, sebut saja Bapak Panggih, punya mobil Daihatsu Classy. Mobil ini biasa dipakai olehnya untuk keperluan keluarga dan lain-lain. Sering juga dipakai oleh orang lain dengan prosedur menyewa atau meminjam dengan membayar sopir sendiri, atau keponakan sendiri langsung jadi supirnya.

Baiklah, karena Bapak Panggih keponakan suamiku, itu hanya menjadi prosedural saja karena kami ternyata memang masih terikat hubungan kekeluargaan. Anggap bayar sewa itu lunas dengan membelikan uang bensin saja, bukan bayaran sewa mobil. Tapi aku tetap memilih, dia sendiri yang jadi supirnya. Sebab apa?

Sebab kami sudah nyaman satu sama lain, aku cocok dengan caranya membawa kendaraan, halus mulus sepeti jalan tol tanpa tanjakan dan turunan. Bahkan ketika aku hamil BJ, sama sekali aku tak merasakan mabuk kendaraan ketika naik di mobil Classy miliknya. Sungguh, ini nyata.

Aku sama sekali tak perlu obat apapun lagi, jika ada agenda konsultasi ke dokter kandungan, selalu dia yang menemani meski jadwal praktiknya malam hari. Biasa berangkat menjelang maghrib dan pulang sebelum jam sebelas, itu juga sudah dibantu mendaftar sejak pagi. Sejak suamiku (Jose) berangkat kerja sebelum jam enam pagi.

Ini berlangsung sampai aku melahirkan BJ, 17 Januari 2017. Bapak Panggih setia menemani. Dia juga lah yang mengantarku untuk proses persalinan. Bahkan menjemput kala aku dan BJ sudah boleh pulang dari RSUD Cilacap, 20 bulan yang lalu. Sungguh, ini nyata. Entah mengapa setelah BJ lahir, aku kambuh lagi meski tak separah yang dulu.

Aku kembali pusing dan mual saat masuk mobil. Aku kembali keliyengan padahal mobil baru saja satu kilometer berjalan. Ya Allah, apa yang terjadi demganku? Apakah aku kembali menjadi manusia yang berpotensi untuk mabuk kendaraan lagi?

Wallahua'lam Bissawab.

Sejatinya aku tidak ingin lagi.

***

Terus versus baby nya di bagian yang mana? Oke, cekidot ya guys. Simak cerita di bawah ini baik-baik. Dan please, aku mohon jangan sampai kalian semua menertawakanku ya. 😱

Setelah seminggu BJ lahir, kami diharuskan pergi kontrol ke rumah sakit. Jadilah kami naik mobil lagi. Ajaib, aku mabuk kendaraan meski tidak sampai muntah. Hanya asin-asin begitu rasanya nih mulutku. Ya Allah.

Lantas, bagaimana dengan Jesi?
Dia lelap di pangkuan Embah Utinya, tanpa sedikitpun ketidaknyamanan yang dirasakan sepertinya. Apakah bisa jadi, mungkin karena dia tidak mabuk kendaraan?

Jawabannya ternyata, iya. Oke baiklah.

Beberapa hari yang lalu, mungkin sudah sekitar sebulanan. BJ aku ajak ke sekolahan, pas agendanya sedang bersantai alias tidak sedang ada pelajaran. Dia kudorong di sepeda roda tiganya. Sepanjang hari berlalu demgan riang. Nah, ada mobil punya Embah OO (suami rekan satu sekolah) masuk lah ke halaman, BJ melihatnya. Tiba-tiba dia baper, minta turun dari sepeda dan tak mau digending kemudian. Dia maunya jalan. Aku pun menurut, mengikutinya dari belakang.

Tahukah ke mana tujuannya?
BJ mendekati mobil berwarna biru milik Embah OO dan berusaha membuka pintu belakang.
"Jes, kamu ngapain?" tanyaku.
"Jessi mau naik. Jessi mau naik, Ibu!"

Wewww, aku mengekeret. Jesi, minta naik? Aduh, alamat ouyeng nih kepala. Takut mabuk akunya. Oh My God, help me.

Embah OO, pun menghentikan kendaraan kesayangannya. Beliau melihat dengan aneh kepada kami berdua.
"Jesi, kamu lagi apa?" tanya Embah OO pada Jesi.
"Jessi mau naik. Jessi mai naik, Ibu!"
"Oh, kamu mau naik. Ya sini naik. Sit, sit. Lawange tak bukak sit!"
(Sebentar, sebentar, pintunya kubuka dulu!)

Pintu belakang terbuka, BJ masuk ke mobil, duduk manis lalu senyum-senyum. Aku mengamati dia dari luar mobil. Embah OO mausk lagi ke dalam mobil, menyalakan mesin. Beberapa menit kemudian.
"Jes, ayuk pulang. Sudah siang." pintaku pada BJ.
"Ibu, Jessi emoh, Jessi emoh." jawab BJ. (Ibu, Jesi tidak mau. Jesi tidak mau.)

Embah OO mungkin mendengar, "Sudah, Ibunya ikut masuk saja ngapain sih, ribut amat!" aku melongo. Alamat puyeng nih, alamat kliyengan. Aku pun masuk.

"Jadi, Jessi mau ke mana nih? Jalan-jalan kah?"
"Pulang saja, Embah. Tapi turun di dekat pasar. Sampai sana saja!"
"Oke!!"

Mobil bercat biru ini keluar dari halaman sekolah. BJ terlihat sumringah, aku nya mulai tak jelas arah. Kepala mulai pusing, migrain, badan mendadak gerah, keringat dingin keluar. BJ tertawa dan bernyanyi riang, bersahutan dengan musik yang diputar dan obrolan dengan Embah OO. Mereka terlihat enjoy sekali. Berbeda denganku.

Begitu sampai di dekat pasar. Aku melihat ada Embah Kakungnya BJ. Aku menunjukkan itu pada BJ.
"Embah, turun sini saja!" pintaku pada Embah OO.
"Lho, bukannya mau jalan-jalan.?"
"Suwun, Mbah. Jesi mau main rumah Bu Ibah saja. Ada Embah."

Pintu mobil di buka, tapi BJ tak mau kugendong. Sejurus kemudian dia menangis, bertahan, tidak mau turun dari kendaraan. Tapi aku tetap harus turun. Kepala mulai berkunang-kunang. "Maafkan Ibu, ya BJ (Bebi Jesi). Ibu memaksamu turun. Ini demi kebaikan

****

Noted: Ibu Jesi mabuk kendaraan. Jesi tidak.

Ibu kalah sama anak 😭

*****

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#day11

#1115kata
#CleverParenting
Rumah Clever, Cilacap, 11 September 2018: 21.00
Ibu Jesi.

*******

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

Posting Komentar untuk "Diary Ibu Jesi: Me Versus My Baby"